Amuk dan Ketidakadilan

0

Catatan Edy Zulnaidi 



TERLEPAS
dari adanya sinisme bahwa apa yang menimpa AA dalam bentang peristiwa Demonstrasi 11042022 di sekitar gedung MPR/DPR RI hanyalah sebuah rekayasa pengalihan isu dan sejenisnya, secara sosiologi peristiwa tersebut dapat dipandang sebagai amok/amuk.


Menurut kamus University of Cambridge, amok dimaknai sebagai to be out of control and act in a wild or dangerous manner atau kondisi benar-benar di luar kontrol, liar, dan berbahaya. Amuk bersifat spontan namun didorong oleh suatu faktor psikologis yang terpendam seperti ketidakadilan dan sejenisnya (dsj).

 

Dalam perspektif hukum, amuk adalah anomali dalam tatanan hukum karena melanggar norma dan melanggar hak asasi orang lain. Namun, sebagai bagian dari gejala sosial, amuk adalah fenomena sosial yang mana seharusnya jadi perhatian atau pertimbangan dalam perumusan norma serta penegakkan hukum (keadilan). 


T. S. Raffles mensinyalir bahwa amok terjadi manakala masyarakat atau individu berhadapan dengan ketidakadilan yang laten dan terus menerus. Dalam ketidakadilan, pikiran-pikiran rasional menemui jalan buntu apalagi jika ketidakadilan justru bersumber dari penguasa.


Fenomena amuk ini sudah pernah ditulis oleh banyak ilmuwan barat: Tom Pirres awal abad 16; Kapten James Cook diabad 18; Alfed Russel Wallace diabad 19; bahkan oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda T. S. Raffles.


 Meskipun masing-masing punya sedikit perbedaan perspektif yakni amuk sebagai tradisi membela kehormatan atau amuk sebagai letupan kemarahan atau dendam, akan tetapi ia lahir sebagai bentuk dorongan emosional. 


Dalam banyak catatan sosiologis masyarakat nusantara yang ditulis berbagai pihak dalam beberapa abad terakhir, hampir semua punya kesimpulan yang sama bahwa karakter masyarakatnya kalem, sopan dan lemah lembut tetapi menyimpan potensi ledakkan jika berada dalam "tekanan' yang cukup lama, apalagi tekanan tersebut berkaitan dengan harga diri yang pasti lahir dari nilai tradisi dan agama. 


Hal ini kurang lebih tergambar dari tulisan Van der Post tahun 1955 di Majalah Encounter volume 5: "Mereka yang selama hidupnya mematuhi tata krama, yang selalu melaksanakan tugas yang diperintahkan dengan sempurna, tiba-tiba merasa tidak mau melaksanakannya lagi. Dalam semalam mereka memberontak terhadap kebaikan dan tanggung jawabnya! "


Fenomena amuk era moderen pernah diulas beberapa ilmuwan lokal yang dipersepsikan sebagai pemberontakan dan kekerasan sekelompok orang. Meskipun tidak semua yang didefinisikan pemberontakan dapat disebut Amuk, seperti peristiwa perlawanan terhadap imperialis dan/atau revolusi sosial misalnya, seperti penjelasan Onghokham dalam buku Sukarno, Orang Kiri Revolusi & G 30 S 1965.


Meskipun peristiwa pengeroyokan AA dalam skala kecil, namun dari perspektif motif dan cara peristiwa itu terjadi maka ia dapat dipandang sebagai Amuk. Peristiwa spontan yang lahir dari kemarahan akibat tekanan psikologis karena tidak tegaknya keadilan dan terusiknya rasa kehormatan yang berkepanjangan. 


Rusuh, peradilan jalanan terhadap pelaku kejahatan, penjarahan dan fenomena tindakan spontan yang penuh emosional yang mengakibatkan kerugian fisik dan nyawa adalah fenomena Amuk yang seringkali punya jalinan dengan terusiknya rasa keadilan dan terganggunya kehormatan sekelompok orang. 


Amuk adalah perbuatan yang salah secara hukum termasuk berbagai bentuk agresi lainnya, lebih salah lagi jika akar penyebabnya tidak diatasi, apatah lagi jika sengaja dipelihara di negeri yang dasar falsafah hidupnya Ketuhanan Yang Mahaesa. Semoga tidak! 


Negara perlu waspada jika banyak masyarakat yang mendukung.


Amuk...!?


Baca juga Pemilu 2024 & Peluang Rekonstruksi Demokrasi



Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top