Desa Berdaya, Indonesia Jaya

0

 Catatan Fauzi Al Azhar *)



SABTU
15 Januari 2022 hari ini tepat sewindu usia Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini ditetapkan pada hari Rabu 15 Januari 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan ini merupakan sebuah terobosan baru terkait pengelolaan desa di Indonesia.


 
Kebijakan sebelumnya menyatukan desa dalam kebijakan Pemerintahan Daerah yaitu dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004. 


Di Provinsi Sumatra Barat, desa disebut / dinamakan nagari (ed).


Amanat utama dari kebijakan UU Desa adalah desa mandiri, sejahtera tanpa kehilangan jati diri. Desa merupakan pondasi bagi kemajuan Indonesia. Dengan kondisi tersebut akan terakumulasi kepada kemandirian Indonesia sebagai bangsa maupun negara. Sebagai sebuah pondasi maka konstruksi desa harus memiliki kekokohan bangunan sehingga kuat menopang struktur di atasnya. Kekokohan dimaksud, baik dalam segi pemerintahan maupun dalam segi masyarakat desa itu sendiri. 


Kemandirian pemerintahan desa harus mampu membuat dan mengelola kebijakan menuju desa mandiri. Kemampuan tersebut terimplementasikan dalam bentuk kebijakan peraturan desa (perdes) dan peraturan kepala desa (perkades). 


Ada tiga perdes wajib yang harus ada dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Ketiganya adalah Perdes tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), Perdes tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Perdes tentang Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). 


Kebijakan  RPJM Desa dan RKP Desa merupakan pelaksanaan dari amanat Permendagri NomorTahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Sedangkan Perdes APBDes sebagai amanat dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.  RPJM Desa ditetapkan sebagai bentuk konkrit kebijakan dari visi misi kepala desa terpilih yang berlaku selama masa jabatan Kades. Sedangkan kebijakan RKP Desa dan APBDes ditetapkan setiap tahun sebagai dasar kebijakan dan penganggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan setiap tahun.


Sebagai bentuk kemandirian desa, aparatur pemerintah desa harus mampu membuat kebijakan secara tepat. Di antaranya adalah tepat waktu sesuai dengan siklus kebijakan. Siklus penyusunan kebijakan pemerintahan desa dimulai dari musyawarah desa sebagaimana amanat Permendagri Nomor 114/2014 sampai berakhir pada penetapan rancangan APBDes pada akhir bulan Oktober sebagaimana amanat Permendagri Nomor 20/2018 . 


Dalam menyusun rancangan APBDes, pemerintah desa harus mengacu kepada Peraturan Bupati/Walikota tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Terkait dengan tahapan siklus, tentu pedoman tersebut harus ditetapkan dan dipublikasikan dalam Jaringan Informasi dan Dokumentasi Hukum (JIDH) pemerintahan daerah sebelum tahapan siklus dimulai. Merupakan sebuah kendala yang terjadi pada saat kebijakan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota  terlambat ditetapkan sehingga menyebabkan keterlambatan penyusunan rancangan APBDes oleh Pemerintah Desa. 


Halaman search google yang penulis akses pada Selasa malam, 28 Desember 2021 pukul 21.15 menunjukkan hanya beberapa daerah yang sudah mempublikasikan kebijakan pedoman penyusunan APBDesa tahun anggaran 2022 pada laman jaringan dokumentasi hukum (JDIH) masing-masing daerah (baca Januari (Jangan) Tanpa APB Nagari)

 

Keterlambatan penetapan pedoman APBDes oleh bupati/walikota membawa ekses kepada keterlambatan proses APBDes oleh pemerintah desa. Kondisi ini tidak produktif dengan upaya menuju kemandirian desa. Berbagai program dan kegiatan yang lambat dilaksanakan, sementara tahun anggaran harus berakhir tepat waktu pada 31 Desember. Akibatnya, kegiatan harus dilaksanakan dengan terburu-buru pada pertengahan sampai akhir tahun guna mengejar sisa waktu. Termasuk keterlambatan terhadap kegiatan yang produktif yang menjadi potensi untuk sumber pendapatan asli Desa (PADes).


Kemandirian Masyarakat Desa

Sedangkan dalam posisi masyarakat desa, harus menunjukkan kemandirian. Kemandirian tersebut dimulai dari kebijakan yang memandirikan masyarakat melalui kebijakan yang produktif. Kebijakan pemberdayaan untuk peningkatan kapasitas masyarakat merupakan hal yang sangat penting dilakukan dimulai pada level pemerintahan desa. 


Dana desa yang diharapkan menjadi stimulan untuk kemandirian justru perlahan berubah menjadi kebijakan konsumtif dalam bentuk pemberian bantuan langsung tunai. Kebijakan ini dimulai sejak pandemi Covid19 melalui kebijakan dana desa pada tahun 2021. Kebijakan terbaru untuk tahun 2022 masih memberikan proporsi 40 persen untuk bantuan langsung tunai. Kondisi ini kalau tidak disikapi dengan hati-hati akan mengarah kepada ketidakmandirian masyarakat melalui kebijakan konsumtif. 


Solusi

Pemerintah melalui Kemendagri harus memberikan sanksi terhadap daerah yang lambat menetapkan Pedoman APBDes secara tepat waktu. Sanksi dapat diberikan dalam bentuk surat teguran kepada bupati/walikota, pengurangan plafon dana alokasi umum bagi daerah kabupaten/kota. Termasuk dalam bagian ini adalah keterlambatan dalam proses publikasi di JDIH daerah maupun proses sosialisasi kebijakan kepada pemangku kepentingan. 


Sedangkan terkait penggunaan dana desa, Kementerian Desa dapat mengkaji ulang kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) menjadi kegiatan pemberdayaan yang produktif sesuai dengan potensi desa. Kebijakan ini dikembalikan kepada roh dari dana desa sebagaimana diamanatkan oleh UU Desa dalam dua ranah yaitu kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.


Dua substansi tersebut - pedoman APBDEs dan dana desa - memiliki dampak terhadap kekokohan desa dalam bangunan Indonesia. Saatnya memberdayakan desa dengan kebijakan yang produktif. Desa berdaya Indonesia Jaya.


*) mahasiswa Program Doktor (S.3) Universitas Andalas - pemerhati pemerintahan - editor Zakirman Tanjung

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(50)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top