Catatan Zakirman Tanjung
SAYA terjun secara totalitas sebagai jurnalis/wartawan semenjak Oktober1992 walaupun sudah mulai melakukan aktivitas jurnalistik sejak Agustus1985. Tentu banyak pengalaman yang saya peroleh, lengkap dengan warna-warni keunikannya.
Karena faktor domisili, wilayah awal aktivitas kewartawanan saya adalah Kabupaten Padang Pariaman, secara bertahap kemudian saya merambah ke wilayah-wilayah lain. Kecuali berbekal ilmu yang saya peroleh secara autodidak, saya tidak terlalu memahami seluk-beluk dan lika-liku jurnalistik. Ditambah faktor fisik dan finansial, kemampuan saya amat sangat terbatas.
Dalam seri tulisan kali ini saya mencoba mengulas pengalaman terkait hubungan personal dengan relasi dan narasumber, pernak-pernik serta cara saya menyikapinya.
Motivasi awal saya mencemplungi kancah jurnalistik lebih dikarenakan oleh faktor mencari penghidupan secara instan. Hal itu didorong oleh pengalaman sebagai penulis yang butuh waktu lama untuk memperoleh penghasilan. Sebab, tulisan-tulisan yang saya hasilkan berupa aneka jenis cerita, opini dan feature (karangan khas atau jenis tulisan yang menyampaikan fakta dengan cara ringan, menarik, dan menonjolkan fungsi menghibur tanpa terikat dengan aturan 5W+1H/ hal-hal yang terjadi pada waktu kejadiannya) butuh waktu lama untuk mendapatkan honorarium.
Berbeda dengan menjadi wartawan, belum lagi menulis berita saya sudah dapat uang. Bagaimana mungkin? Pengalaman saya waktu itu memang demikian. Nyaris setiap kali melakukan peliputan atau wawancara, saya menerima uang dari panitia kegiatan atau narasumber meskipun saya tidak meminta.
Pemberian yang bernama uang transpor ini sepertinya membudaya waktu itu. Mayoritas panitia kegiatan atau pejabat yang diwawancarai wartawan seperti memiliki persepsi yang sama terhadap hal ini.
Walau seperti membudaya dan membutuhkan, saya tetap merasa malu menerimanya. Ada rasa yang tertekan di dalam jiwa. Oleh karena itu, saya berusaha menulis beritanya sebaik mungkin dengan kemampuan maksimal yang dianugrahkan Allah kepada saya, lalu mengirim atau menyerahkan ke redaksi surat kabar, media massa tempat saya bergabung.
Alhamdulillah... boleh dikata semua berita yang saya kirim atau serahkan diterbitkan oleh redaksi. Dengan demikian saya tidak punya beban moril kepada panitia kegiatan atau narasumber atau dapat cap muntaber (muncul tanpa berita).
Dalam hal ini, jangankan meminta uang transpor, menunggu diberi pun tidak saya lakukan. Selesai meliput kegiatan, melakukan wawancara atau konfirmasi, saya pamit dan langsung pergi dengan menahan diri agar tidak menoleh. Saya malu jika dianggap menunggu pemberian, apalagi meminta. Alih-alih melakukan tindakan pemerasan yang jelas-jelas pidana!
Sikap saya sering dianggap bodoh oleh rekan-rekan dan orang-orang mengenal saya. Mereka kerap menyayangkan mengapa saya tidak memanfaatkan peluang memperoleh uang, bahkan bisa memperkaya diri, padahal - sebagai wartawan yang disegani - saya punya kesempatan melakukan hal itu.
Sekali-kali tidak! Biarlah dianggap bodoh atau pandir, Alhamdulillah... saya tetap tidak tergoda untuk memanfaatkan profesi jurnalistik untuk memperoleh uang, apalagi memperkaya diri. Demi Allah, saya tidak menyesal selalu kere, hidup dalam kekurangan dan ketiadaan, walau kerap tertekan rasa miris lantaran tak mampu mencukupi nafkah diri dan keluarga - seperti ketika menulis catatan ini, saya tahan rasa lapar yang menyiksa karena tak punya uang untuk pembeli sarapan.
Meskipun demikian, di sisi lain, saya merasa tidak pernah merasa kehilangan kemerdekaan dan harga diri terhadap dan di depan siapapun. Sebab, saya tidak pernah meminta, apalagi melakukan pemerasan.
Terkait judul di atas, sepanjang pengalaman kewartawanan saya, hubungan terjalin dengan relasi dan narasumber umumnya sebatas hubungan kerja (dinas/plat merah), sangat jarang sampai terjalin hubungan kekeluargaan atau kekerabatan (plat hitam). Sangat jarang ada pejabat, staf. pengusaha atau karyawan yang menawarkan hubungan kekerabatan.
Hal itu bisa terjadi mungkin karena faktor rasa minder saya yang tidak habis-habis yang mengakibatkan saya tidak punya nyali memasuki ranah pribadi/kekeluargaan narasumber, relasi, bahkan rekan sesama wartawan. Kalau tak diajak, saya tak punya keberanian berinisiatif memasuki ranah pribadi siapapun.
Mungkin karena itu pula, kebaikan-kebaikan yang saya terima dari relasi dan narasumber lebih dikarenakan hubungan kewartawanan. Kalau bukan karena urusan pemberitaan, sangat jarang ada relasi dan narasumber yang peduli kepada saya. Dalam masa 29 tahun beraktivitas secara totalitas di kancah jurnalistik, mungkin tak cukup 100 orang yang terjalin hubungan kekerabatan dengan saya.
Oleh karena itu, semenjak mengalami keterpurukan beberapa tahun terakhir, saya merasa hidup sebatang kara, tak punya sahabat atau kerabat untuk berbagi cerita, apalagi untuk meminta bantuan. Alhamdulillah... meski demikian, masih ada satu-dua orang yang mengenal saya sesekali berbagi kepedulian. (*)
Baca juga
* SAYA TIDAK SUKA MEMINJAM ATAU MEMINTA BANTUAN