Catatan Zakirman Tanjung, wartawan CanangNews
Dra Ruswita Adjisman alias
Eru (kiri) sewaktu dikunjungi Endarmy
MENJADI
wakil rakyat itu bukan pekerjaan ringan. Banyak
harapan dan aspirasi yang diembankan rakyat. Mulai dari hal-hal sederhana seperti
modal usaha warung kecil-kecilan hingga hal-hal besar berupa perbaikan sarana
dan prasana infrastruktur yang mereka butuhkan. Semua meminta direalisasikan
dengan segera.
Kesan seperti itulah yang saya (penulis) tangkap
ketika diajak Endarmy, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera
Barat (DPRD Sumbar), mengunjungi rakyat di daerah pemilihan (dapil) tempat dia
berasal, hari ini – Kamis 24 Agustus 2017. Kedatangan Perempuan Legislator dari
Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu disambut orang-orang yang dia kunjungi
dengan suka-cita dan penuh harapan.
Selama dua setengah jam (mulai pukul 14.02 s/d 16.36
WIB), Endarmy mengajak saya dan Wartawan Harian
Singgalang Tuanku Ahmad Damanhuri
mengunjungi sejumlah lokasi di Kecamatan 2x11 Kayutanam. Objek pertama yang
kami kunjungi: sebuah bedeng yang didiami Dra Ruswita Adjisman bersama
putranya, Jojo SH MH.
Bedeng itu berlokasi hanya sekitar 30 meter dari
pinggir Jalan Raya Padang – Bukittinggi, tepatnya di pangkal jembatan sebelum
Pasar Kayutanam, atau masuk wilayah Korong Pasar Usang. Bedeng itu berlokasi di
halaman reruntuhan rumah yang menurut Eru – begitu Endarmy menyapa Ruswita –
dihancurkan oleh tetangganya karena faktor iri dan dengki.
Eru yang ditinggal cerai oleh suami sebelumnya hidup
berkecukupan di Jakarta. Bahkan, putra semata wayangnya bisa menyelesaikan
pendidikan sarjana dan magister hukum di Universitas Indonesia. Setelah ditimpa
kesulitan ekonomi, Eru mengajak si anak pulang kampung. Namun, ia dapati
rumahnya telah hancur.
“Kami bukan sengsara, Pak, tetapi disengsarakan,”
cetus Eru, suaranya terdengar lirih.
Dra Ruswita Adjisman alias
Eru (kiri) sewaktu saya wawancarai
Prihatin mendapati realita miris yang dialami Eru,
Endarmy memasukkan program pembangunan kembali rumah wanita tamatan IKIP
Jakarta tahun 1990 itu ke dalam rencana kegiatan anggaran (RKA) pokok-pokok
pikiran (pokir)-nya di DPRD Sumbar tahun 2017. Sayangnya, program tersebut
tidak ditindaklanjuti oleh pihak terkait di Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Sumbar.
“Insya Allah tahun 2018 depan saya masukkan kembali
ke dalam program pokir,” cetus Endarmy.
Mengapa Eru tidak membangun lagi rumahnya yang
dihancurkan itu? Perempuan itu menyebutkan, untuk bisa memenuhi kebutuhan makan
dan minum saja ia sering kesulitan. Usaha yang dia lakukan adalah mengumpulkan
hasil tanaman pada lahan yang ditinggalkan orangtuanya seperti durian dan
jengkol, itupun kalau sedang berbuah.
Sementara Jojo baru saja mencoba bergabung dengan
suatu kantor pengacara di Kota Padang. Terkadang, Jojo pun bekerja secara
serabutan seperti berkuli atau menawarkan jasa angkutan dengan becak motor.
***
Selanjutnya
Endarmy mengajak kami ke seberang rel kereta api di Korong Pasar Gelombang,
masih di Nagari Kayutanam. Dekat semak belukar, perempuan kelahiran 27 Januari
1959 ini menyuruh sopir menghentikan mobil dinas DPRD yang kami tumpangi. Saya
pun bertanya-tanya dalam hati, hendak mengunjungi apa ya?
Turun
dari mobil, Endarmy menuruni pinggir jalan, menerobos semak-belukar. Saya pun
mengikuti. Ternyata di balik belukar itu ada kegiatan pembangunan satu unit
rumah amat sangat sederhana berukuran 6 x 4 meter. Dua orang tukang tampak
sedang bekerja.
Rumah amat sangat sederhana yang dibangun untuk Yusna
Tak
lama, muncul seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun, berbusana muslimah.
Menurut Endarmy, rumah tersebut memang dibangun untuk perempuan itu. “Beliau
ini berasal dari Kepulauan Mentawai, janda kematian suami dengan lima anak
yatim,” ujarnya.
Setelah
suaminya meninggal dunia setahun lalu, lanjut Endarmy, Yusna – nama perempuan
itu – bersama kelima anaknya ditampung Walikorong Pasar Gelombang Rusmailan di
kantor korong. Sejak sebulan terakhir mereka menempati sebuah rumah atas
permintaan pemiliknya untuk menjaga karena ada urusan pergi ke Jakarta.
Menjawab
pertanyaan saya, Yusna pun bercerita, suaminya orang Kayutanam ini. Saat masih
hidup, si suami mengajak mereka bermukim di pondok ladang. Namun, setelah si
suami meninggal, tanah ladang itu diambil oleh kaumnya.
“Anak
kami lima orang. Yang sulung perempuan berusia 25 tahun tetapi kurang sehat.
Sedangkan si bungsu laki-laki berusia 8 tahun, baru saja saya antar ke
pesantren untuk mengikuti pendidikan baca-tulis Al-Qur’an,” ujar perempuan yang
mengaku berasal dari pedalaman Sikakap ini.
Yusna (kiri) sedang berdialog dengan Endarmy
Kegiatan
pembangunan rumah amat sangat sederhana ini, papar Endarmy, difasilitasi Haji
Ahmad Umar Datuk Sinaro (72 tahun) – tokoh masyarakat Kayutanam, pensiunan Kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Lubuk Alung – dan Walikorong Rusmailan.
Endarmy ikut membantu biaya pembangunan secara pribadi lantaran tak bisa
memasukkan ke program pokir sebagai anggota dewan.
Ahmad
Umar Datuk Sinaro menambahkan, rumah itu dibangun pada lahan milik PT Kereta
Api Indonesia (Persero) tetapi sudah mendapat izin.
***
Kembali
ke mobil, Endarmy yang merupakan anggota Komisi V DPRD Sumbar – membidangi Kesejahteraan
Rakyat – mengajak kami mengunjungi kegiatan usaha penggemukan sapi yang
dikelola Kelompok Wanita Tani (KWT) Mutiara Bunda di pedalaman Korong Balah
Aie, Nagari Anduriang, sekitar lima kilometer dari Jalan Raya Padang – Bukittinggi.
Turun
dari mobil, Endarmy memasuki sebuah gubug yang terkesan tidak layak huni. Di
dalamnya tampak seorang perempuan tua berusia kira-kira 90 tahun atau lebih.
Perempuan yang mengaku bernama Gondan ini duduk di pembaringan dengan luka
berbalut perban pada tulang kering kaki kirinya.
Endarmy mengunjungi Gondan, perempuan sebatang kara berusia 90 tahun
Karena
tidak punya keturunan, Gondan tinggal bersama Ar, wanita berusia sekitar 30
tahun. Meski terlihat sudah sangat tua dan rabun, Gondan ternyata tidak pikun.
Suaranya masih jernih, pendengarannya pun masih baik. Mendengar Endarmy
memperkenalkan diri, Gondan langsung merespons dengan menanyakan, apakah ibunya
masih hidup? Sepertinya Gondan mengenal ibu Endarmy.
***
Selanjutnya
Endarmy mengajak kami menuju lokasi kegiatan usaha penggemukan sapi dengan
berjalan kaki, menelusuri jalan setapak di lereng pebukitan. “Apakah Pak Zast
sanggup?” tanyanya kepada saya.
Saya
pun berusaha mengikuti dengan bertongkat sepotong kayu untuk menopang tubuh dan
menjaga keseimbangan. Maklum, kaki dan tangan kiri saya memang cacat sejak
lahir. Selain itu ditambah pula penyakit pada telapak kaki kiri yang terasa
sangat sakit setiap kali dipijakkan.
Setelah
sekitar 600 meter, ada jembatan kecil cukup panjang, mungkin 30 meter, dengan
kedalaman 10 meter, tanpa pegangan. Saya coba meniti mengikuti Endarmy dan
rombongan – termasuk Ketua dan Anggota KWT Mutiara Bunda. Ternyata saya tak
sanggup lantaran merasa sangat gamang.
Saya
meminta Endarmy dan rombongan berjalan duluan. Setelah beristirahat beberapa
menit, saya menuruni sungai dengan bertelekan tongkat kayu, menyeberang dan
naik lagi, meniti pematang sawah sejauh kira-kira 300 meter atau lebih, baru
sampai di lokasi penggemukan sapi.
Endarmy mengunjungi kegiatan penggemukan sapi KWT Mutiara Bunda
Di lokasi
itu terdapat 15 ekor sapi dalam bilik-bilik pada kandang sederhana. Menurut
Endarmy, sapi-sapi itu merupakan bantuan Dinas Peternakan Pemprov Sumbar
melalui dana pokir-nya. “Selain di sini, ada 15 ekor sapi lagi di KWT Mutiara
Nagari Balah Aie, Kecamatan VII Koto, yang juga bantuan Dinas Peternakan Pemprov
Sumbar melalui dana pokir Ni En,” ujarnya.
Menyaksikan
sapi-sapi itu makan rumput dengan lahap serta keceriaan Ketua dan Anggota KWT melayaninya,
rasa lelah dan sakit kaki saya jadi berkurang. Ketua KWT Mutiara Bunda Yelvi
Yelita menyebutkan, kelompoknya beranggotakan 21 perempuan, semuanya aktif
melakukan pemeliharaan dan menyediakan rumput untuk sapi-sapi mereka.
Ketua dan Angggota KWT Mutiara Bunda memelihara sapi-sapi mereka dengan telaten
Kembali
ke mobil, saya memilih melangkah duluan. Namun, ketika hendak melewati jembatan
kecil, langkah saya kembali terhenti. Meminta Endarmy dan rombongan jalan
duluan, saya kembali menuruni lereng sungai, lalu menyusul mereka. Sesampai di
rumah, badan saya terasa sangat letih dan sakit-sakit. Itu sebabnya mengapa
saya tidak berhasil menyelesaikan penulisan laporan ini dan mem-publis-nya,
Kamis malam.
***
Di
dapil-nya, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman, Endarmy dikenal sebagai
wakil rakyat yang sangat aspiratif. Dia sangat cepat merespons aspirasi
masyarakat, baik yang disampaikan melalui telepon, whatsapp dan media sosial
seperti facebook maupun saat ia datang berkunjung, lalu berusaha dengan
kemampuan maksimal memperjuangkannya ke pihak eksekutif seperti gubernur dan
organisasi-organisai perangkat daerah (OPD) atau ke badan usaha milik negara
dan daerah melalui program CSR (Corporate
Social Responsibility) atau tanggungjawab sosial perusahaan.
Alhamdulillah... umumnya
perjuangan Ni En berhasil berkat lobi dan pendekatan, kemudian dinikmati
masyarakat,” kata Endarmy.
Tahun 2017 ini dana
pokir Endarmy tersebar secara hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Padang
Pariaman dan Kota Pariaman walau pada pemilihan umum 2014 tidak semua wilayah
itu memberikan kontribusi suara kepada Endarmy. Namun, perempuan ini menegaskan,
pengabdian sebagai wakil rakyat tidak mesti berbanding lurus dengan perolehan
suara pada pemilu.
Nama
Endarmy ternyata menggambarkan sejarah pilu kehidupan perempuan kelahiran 27 Januari 1959 ini. Nama itu
merupakan gabungan dua kata bahasa Inggris > End dan Army, diberikan oleh
pamannya dari pihak ibu (mamak). Artinya kurang-lebih “Anak terakhir dari
seorang tentara”.
Ayah
Endarmy memang seorang prajurit TNI, wafat ketika Endarmy masih berusia dua
bulan dalam kandungan ibunya. Ayahnya dibunuh oleh Bahar Kirai, seorang antek
Partai Komunis Indonesia > ditembak ketika sedang melintasi jembatan kereta
api di Lembah Anai. Jenazahnya dimakamkan di pandam pekuburan keluarga. (***)