Catatan Riky Falantino SKom MM *)
PEMILIHAN kepala
daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) tahun 2018 akan diikuti 171 daerah.
Pilkada tersebut bakal digelar pada 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.
Tahapannya akan dimulai secara serentak pada Oktober 2017. Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia (KPU RI) telah meluncurkan rangkaian tahapan pilkada
tersebut, Rabu (14/6/2017).
Sebagai informasi, pilkada 2018 merupakan pilkada gelombang ketiga yang
diselenggarakan secara serentak. Gelombang pertama dan kedua dilaksanakan pada
2015 dan 2017.
Dasar hukum pelaksanaan pilkada serentak ini adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota Menjadi Undang-Undang. Setelah itu, undang-undang ini pun mengalami
perubahan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, hingga akhirnya diatur
dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pelaksanaan pilkada serentak berangkat dari evaluasi pelaksanaan pilkada
sebelumnya. Menurut Titi Anggraini, ada tiga hal yang hendak dijawab dari
hadirnya pilkada serentak (Perludem – Jurnal Pemilu & Demokrasi
April 2016 “Evaluasi Pilkada Serentak 2015”), yakni menciptakan
penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif, memperkuat derajat keterwakilan
antara masyarakat dengan kepala daerahnya, dan menciptakan pemerintahan daerah
yang efektif serta efisien dalam rangka menegaskan sistem pemerintahan
presidensialisme.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang tentang Pilkada, sebelum pelaksanaan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala secara serentak untuk seluruh daerah
di Indonesia pada tahun 2027, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala secara
serentak dilaksanakan berdasarkan akhir masa jabatan kepala daerah dan wakil
kepala daerah.
Keserentakan pelaksanaan ini bukan saja berkaitan dengan hari dan tanggal
pemungutan suara tetapi juga berkaitan dengan seluruh proses tahapan
penyelenggaraan.
Pilkada serentak 2015 dan 2017 telah berlangsung dengan aman, lancar,
tertib, dan damai. Penyelenggaraannya sukses. Partisipasi pemilih memang belum
memenuhi target KPU, yakni 77,50 persen. Partisipasi pemilih Pilkada Serentah
2015 adalah 69,14 persen dan 2017 sebesar 74,20 persen. Partisipasi ini masuk
kategori moderat atau sedang.
Gelombang ketiga pilkada serentak akan dilaksanakan pada tanggal 27 Juni
2018. Pilkada serentak gelombang ketiga ini dilaksanakan untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang akhir masa jabatan (AMJ) 2018 dan 2019.
Pada pilkada serentak ketiga ini, di Provinsi Sumatera Barat akan
dilaksanakan pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota di 4 Kota, yakni Kota Pariaman, Kota Padang, Kota Padang Panjang
dan Kota Sawahlunto.
Harapan kita bersama bahwa Pilkada Serentak 2018 dapat mengulangi kisah
sukses penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 dan 2017. Tentunya sejumlah
perbaikan perlu dilakukan. Kesuksesan pelaksanaan pilkada tidak hanya
ditentukan oleh penyelenggara, dalam hal ini KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas
Pemilihan Umum / Pemilu – red), tetapi juga sangat ditentukan oleh partisipasi
dari masyarakat (publik) sebagai pemegang hak memilih.
Menurut Gunawan Suswantoro, pada era yang “tunggang langgang” ini, sebuah
lembaga tak dapat berdiri sendiri dalam menjalankan fungsi pengawasan. (Sekjen Bawaslu RI –Buku Pengawasan Pemilu Partisipstif “Gerakan Masyarakat Sipil Untuk
Demokrasi Indonesia ” 2015). Partisipasi publik sungguh menjadi
faktor penting bagi kesuksesan pemilu di era keterbukaan sekarang ini.
“Pengawasan Pemilu Partisipatif “ diwujudkan dalam Gerakan Sejuta Relawan
Pengawas Pemilu (GSRPP). Hasilnya, gerakan tersebut dapat mendorong partisipasi publik dalam
penyelenggaraan Pemilu 2014 yang lalu.
Bwerdasarkan pengalaman penulis pada pilkada serentak 2015, perlu adanya dukungan
pengawasan pemilu partisipatif dari seluruh masyarakat. Pada pilkada serentak 2015, penulis menggagas
dan membuat sebuah kegiatan pengawasan partisipatif dengan nama “Deklarasi Pengawasan Partisipatif “ yang
melibatkan Kepala Daerah, KPU, Panwaslih (Panitia Pengawas Pemilihan), Kapolres,
Kejaksaan, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan organisasi profesi wartawan.
Cara-cara seperti ini sangat besar perannya dalam menciptakan pemilu yang badunsanak (bersaudara – red) di Ranah
Minang ini, khususnya di Pariaman. Untuk mengharapkan agar peran masyakat ini
besar ajaklah dalam sebuah event/kegiatan itu (dibaok sato) dan janganlah mereka merasa ditinggalkan atau tidak
dilibatkan dalam setiap kegiatan tersebut.
Peran alim ulama, niniak mamak dan cadiak pandai (tali tigo sapilin) di Ranah
Minang ini sangatlah besar dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan di daerah.
Di samping itu, nilai-nilai sosial (kearifan lokal) suatu daerah juga sangat
menentukan kesuksesan suatu pesta atau iven yang diadakan di daerah tersebut.
Kalau di Pariaman Ibarat “Batabuik” (iven budaya lokal), sangatlah ribut dengan
potensi konflik sosial yang sangat besar yang terjadi antara kedua kelompok
anak nagari (Pasa dan Subarang) di
saat berlangsungnya Pesta Budaya Tabuik itu. Tetapi, setelah Tabuik itu dibuang
ke laut, semua kelompok yang berseberangan kembali rukun dan damai seperti
semula.
Dalam setiap pesta demokrasi pun, baik itu pilkada maupun pemilihan anggota legislatif,
di Pariaman tercermin nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai ini lah yang perlu didorong dalam setiap iven atau pilkada
di Pariaman ke depan. “Biduak lalu kiambang batauik”. (***)
*) Riky Falantino SKom MM, mantan Sekretaris Panwaslih KabupatenPadang
Pariaman pada Pilkada Serentak 2015
Rreferensi:
-
Gunawan Suswantoro ( Sekjen Bawaslu RI ), 2015 “Pengawasan
Pemilu Partisipatif”
-
Jurnal Titi Anggraini (Perludem – Jurnal Pemilu &
Demokrasi April 2016 “Evaluasi Pilkada Serentak 2015”)
-
http://florespost.co/2017/06/15/opini-pilkada-serentak-menyongsong-pilkada-2018