Arosuka,.CanangNews - Upaya pembenahan tata kelola pendidikan di Kabupaten Solok memasuki fase signifikan setelah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) menerbitkan Surat Edaran Nomor 400.3/5231/Disdikpora-2025 pada 17 November 2025. Kebijakan ini tidak sekadar memperbaiki mekanisme sumbangan komite, tetapi juga mempertegas paradigma baru bahwa pendidikan adalah hak publik yang tidak boleh dipengaruhi oleh variabel ekonomi keluarga.
Regulasi ini tersusun sebagai tindak lanjut atas kerangka hukum nasional mulai dari PP Nomor 48 Tahun 2008 hingga Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa pendidikan adalah layanan publik yang wajib bebas dari pungutan yang membatasi akses. Disdikpora Kabupaten Solok kemudian mengkristalkan mandat tersebut dalam empat prinsip fundamental yang wajib dijalankan seluruh satuan pendidikan.
Aturan tersebut menegaskan bahwa sumbangan komite tidak boleh dipatok besaran ataupun tenggat waktunya, tidak dapat dikaitkan dengan layanan akademik, dan wajib dikelola secara transparan. Keluarga penerima Program Indonesia Pintar (PIP) dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban menyumbang, kecuali jika dilakukan secara sukarela tanpa tekanan sosial maupun struktural.
Kepala Disdikpora, Elafki, S.Pd., MM., menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan langkah strategis agar ekosistem pendidikan tidak kembali terjebak dalam praktik pungutan yang diskriminatif. “Pendidikan harus menjadi ruang aman bagi semua anak, bukan sumber kecemasan ekonomi bagi orang tua,” ujarnya.
DPRD Solok: Kepatuhan Wajib, Akses Pendidikan Tidak Boleh Dibatasi
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Solok, Iskan Nofis, S.P., memberikan respons cepat dan apresiatif atas kebijakan tersebut. Menurutnya, aturan ini adalah koreksi struktural yang menyasar akar masalah ketimpangan akses pendidikan.
“Semua sekolah wajib patuh. Tidak boleh ada lagi pungutan yang membebani keluarga, terutama yang menerima PIP,” tegasnya.
Iskan menegaskan bahwa Komisi I DPRD akan mengawal implementasi kebijakan ini agar tetap berjalan dalam kerangka konstitusional, terutama dalam menjamin hak dasar masyarakat untuk menempuh pendidikan hingga 12 tahun.
“Tidak boleh ada satu pun anak di Kabupaten Solok yang berhenti sekolah karena alasan ekonomi. Negara memiliki mandat moral dan konstitusional untuk memastikan itu,” tambahnya.
Dalam refleksi lanjutannya, Iskan menyoroti bahwa pendidikan harus dibangun tidak hanya melalui infrastruktur fisik, tetapi juga melalui pembentukan karakter, kapasitas intelektual, dan kesiapan generasi muda menghadapi era Indonesia Emas 2045. “Ini adalah investasi peradaban,” ujarnya.
Harapan Iskan Nofis: Kebijakan Pro Rakyat Ini Layak Diadopsi Tingkat Provinsi
Di penghujung pernyataannya, Iskan Nofis menyampaikan harapan lebih luas: agar kebijakan serupa juga diadopsi oleh Dinas Pendidikan Sumatera Barat. Menurutnya, langkah tersebut penting karena sekolah SMA, SMK, dan sederajat berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi, sehingga payung kebijakan harus merata agar prinsip keadilan pendidikan berjalan menyeluruh.
“Jika Kabupaten Solok sudah menerapkan standar tata kelola sumbangan komite yang pro rakyat, maka idealnya Dinas Pendidikan Sumatera Barat juga mengadopsi kebijakan serupa. Ini bukan hanya soal keseragaman regulasi, tetapi soal keberpihakan terhadap hak dasar rakyat,” ungkap Iskan dengan nada analitis.
Iskan juga menaruh keyakinan bahwa Wakil Gubernur Sumatera Barat, Vasko, akan menyambut baik dorongan tersebut.
“Saya meyakini Pak Vasko, sebagai anak muda yang objektif, rasional, dan dekat dengan aspirasi masyarakat, akan mendukung penuh kebijakan yang memastikan wajib belajar 12 tahun benar-benar terjamin bagi seluruh anak di Sumatera Barat. Beliau punya komitmen kuat untuk memperjuangkan hak dasar rakyat, termasuk dalam soal pendidikan,” tuturnya.
Kebijakan Disdikpora Solok ini, apabila dijalankan secara konsisten dan diperluas hingga tingkat provinsi, berpotensi menjadi model tata kelola pendidikan yang lebih inklusif, responsif, dan berpihak kepada rakyat. Publik kini menunggu bagaimana sinergi antara pemerintah kabupaten, DPRD, dan pemerintah provinsi dapat mempercepat transformasi pendidikan yang lebih adil dan berkelanjutan.
( Betra Koto)
