Oleh Zahirman Kadar*)
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuqqk mengakhiri skema pemilihan umum (pemilu) 5 (lima) kotak yang selama ini digunakan dalam pemilu serentak. Dalam putusan terbarunya, MK menetapkan bahwa mulai tahun 2029, pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal harus dipisahkan melalui pengujian UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada.
Putusan MK ini sangat menarik untuk dikritisi secara ilmiah bila dikaitkan kualitas demokrasi pasca pemilu serentak di Indonesia yang sudah berjalan sejak tahun 2019.
Dalam sistem demokrasi, pemilu menjadi pilar utama yang menentukan arah masa depan bangsa. Sejak era reformasi, Indonesia telah mengalami berbagai dinamika pelaksanaan pemilu, termasuk kebijakan penyelenggaraan secara serentak. Namun, wacana pemisahan antara pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD) kembali menguat sebagai salah satu upaya memperkuat kualitas demokrasi.
Perspektif Kesiapan Penyelenggara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu memikul beban yang luar biasa berat dalam pemilu serentak. Logistik, distribusi, pengawasan, rekapitulasi suara hingga beban kerja petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang memicu kelelahan ekstrem —bahkan kematian —adalah alarm keras yang tak boleh diabaikan. Pemisahan pemilu diyakini bisa meringankan beban teknis ini.
Dengan jadwal yang terpisah, penyelenggara akan lebih fokus mengelola tahapan masing-masing pemilu secara profesional dan presisi. Kemungkinan human error bisa ditekan dan proses rekapitulasi menjadi lebih terkontrol. Namun, tantangan juga muncul: biaya bertambah, agenda politik menjadi panjang dan potensi konflik horizontal bisa meningkat seiring lamanya atmosfer politik di masyarakat.
Peran dan Kesiapan Partai Politik
Partai politik (parpol) berada di jantung demokrasi. Dalam sistem pemilu serentak, parpol kerap mengutamakan kepentingan nasional, sehingga calon kepala daerah kerap hanya dijadikan ‘ban serep’ atau komoditas politik belaka. Akibatnya, banyak calon di daerah yang minim rekam jejak dan hanya menjual popularitas semata.
Dengan pemilu yang dipisahkan, parpol didorong untuk lebih serius melakukan kaderisasi lokal. Mereka memiliki waktu dan ruang lebih panjang untuk membangun strategi dan komunikasi politik berbasis daerah, mengusung kader yang benar-benar paham kebutuhan masyarakat setempat, bukan sekadar tokoh titipan elite pusat.
Namun, di sisi lain, parpol harus menata ulang sistem manajemen politik dan logistiknya. Mereka perlu adaptif terhadap dinamika politik yang lebih panjang dan intensif di dua siklus pemilu yang berbeda.
Kualitas Pilihan Masyarakat
Di antara kritik utama terhadap pemilu serentak adalah ‘banjir nama’ di surat suara. Pemilih dihadapkan pada pilihan yang sangat banyak dalam satu waktu, dari presiden hingga caleg DPRD. Ini menciptakan kelelahan politik (political fatigue) dan minimnya informasi mendalam yang dimiliki pemilih terhadap calon-calon yang mereka coblos.
Dengan pemilu yang terpisah, masyarakat dapat lebih fokus pada kualitas calon yang akan mereka pilih. Dalam pemilu nasional, mereka menilai visi kebangsaan; sementara di pemilu daerah, mereka dapat lebih mengenal rekam jejak dan komitmen lokal kandidat. Ini berpotensi menghasilkan pemimpin yang lebih kredibel dan sesuai kebutuhan daerah.
Namun, tantangannya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat agar tidak menurun karena kelelahan politik berkepanjangan. Di sinilah pentingnya literasi demokrasi dan pendidikan politik yang terus-menerus.
Menakar Demokrasi yang Lebih Bermutu
Pemisahan pemilu nasional dan daerah bukan sekadar soal teknis, tetapi langkah strategis dalam mematangkan demokrasi. Jika penyelenggara disiapkan dengan profesional, parpol melakukan kaderisasi serius, dan masyarakat didorong untuk makin cerdas memilih, maka pemisahan ini dapat menjadi jalan menuju demokrasi yang lebih bermutu, bukan semata prosedural.
Namun, perlu dicatat, pemisahan pemilu hanyalah alat. Esensi demokrasi tetap terletak pada niat politik yang bersih, keterbukaan informasi, dan keberdayaan rakyat dalam memilih serta mengawasi jalannya kekuasaan. Tanpa itu, pemilu — seberapa pun rapi bentuknya — hanyalah formalitas lima tahunan.
*) Alumni Fisip Universitas Riau