Berbincang Lepas dengan Dr Jhon Farlis MSc, Mediator Pelita dan Triple Win Solution

0
.          Catatan Zakirman Tanjung

BERPERKARA kerap terjadi akibat adanya pihak-pihak yang merasa berhak atas sesuatu yang dimiliki pihak lain. Lantaran tidak dapat menguasai, pihak yang merasa berhak pun mengajukan gugatan ke pengadilan. 

Itu satu contoh. Masih banyak contoh permasalahan lain dalam hubungan antar manusia, baik yang berujung gugatan ke pengadilan maupun terpendam ibarat api di dalam sekam.

Kata orang bijak, berperkara perdata di pengadilan sangat jarang mencapai titik yang diinginkan oleh pihak penggugat lantaran pihak tergugat juga merasa berhak atas objek perkara. Masing-masing pihak pun berupaya mempertahankan hak. Akibat keterbatasan pengetahuan untuk berperkara di pengadilan atau karena kesibukan, masing-masing pihak pun memakai jasa pengacara atau kuasa hukum. 

Orang melek hukum tentu tahu, jasa pengacara tidaklah gratis. Pihak-pihak yang menggunakannya tentu harus membayar biaya operasional berperkara dan jasa sukses jika berhasil memenangkan perkara. Jumlahnya sesuai kesepakatan atau tarif yang ditentukan si pengacara. 

Proses berperkara perdata di pengadilan tidaklah mudah. Tak seperti memancung batang talas dengan pedang tajam, sekali putus. Adakalanya berlangsung lama, bahkan mungkin bertahun-tahun hingga berbelas tahun. Katakanlah penggugat menang di pengadilan negeri, tergugat umumnya mengajukan banding ke pengadilan tinggi, lanjut ke mahkamah agung, peninjauan kembali.

Dapat dibayangkan, berapa biaya berperkara perdata di pengadilan yang harus ditanggung pihak-pihak yang bersengketa, apalagi jika prosesnya panjang. Oleh karena itu, orang bijak mengungkapkan, berperkara perdata di pengadilan: jika menang jadi arang, kalau kalah jadi abu. Sama-sama merugi! 

Keprihatinan inilah yang mendorong Dr Jhon Farlis MSc menjadi mediator, berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara di luar pengadilan. Kegiatan ini sudah ia mulai semenjak bocah, mendamaikan teman-teman berkelahi. 

Ahad 12 Februari 2023 pukul 10.53, pria yang saya sapa Pak Jhon ini menelepon, mengabarkan jika ia sedang melintas di kawasan saya berdomisili dan menyatakan hendak singgah untuk berbagi beras. Saya ajak mampir hingga perbincangan pun mengalir. Namun, saya tak ingat bagaimana awalnya karena tidak mencatat, apalagi merekam. 

 Jhon menuturkan, ia sudah mendamaikan banyak kasus sengketa, baik antar personal maupun antar pihak, baik atas permintaan maupun atas inisiatif sendiri. Jumlahnya sudah ratusan dengan berbagai permasalahan: tak hanya sengketa tanah.

Dalam melakoni peran sebagai mediator, Jhon tidak selalu menerima bayaran atas jasanya. Terkadang ada juga Proyek Pelita (Pekerjaan Lillahi Ta'ala). Namun, ia juga mengajukan persentasi atas objek sengketa jika upayanya berhasil: pihak yang meminta jasa umumnya setuju. 

Pada kesempatan lain, ia pun melakukan mediasi dengan triple win solution: kedua pihak yang bersengketa dan dirinya selaku.mediator sama-sama memperoleh keuntungan. 

"Waktu itu, saya mendengar informasi, ada dua pihak berperkara di pengadilan terkait sengketa tanah. Kasusnya sudah berlangsung lama, 14 tahun. Namun, kedua pihak sama-sama ngotot, tak ada yang mau mengalah, boro-boro berdamai, walaupun sudah sama-sama lelah," katanya mengisahkan. 

Setelah mempelajari kasusnya, Jhon menemui pihak pertama (I) dan bertanya apakah bersedia menjual tanah objek sengketa dan berapa harga permeter persegi? Pihak pertama menjawab bersedia dan menyebut angka seratus ribu. Jhon menawar dengan harga jual cepat, Rp50.000. 

Pihak I setuju. Ia pun menyiapkan naskah surat kuasa untuk mengurus perkara tanah itu di pengadilan hingga menjualnya. untuk ditandatangani pihak I. Hal yang sama ia lakukan kepada pihak II, deal. Ia meminta waktu enam bulan untuk melakukan pembayaran.

"Setelah mengantongi dua surat kuasa dari kedua pihak yang bersengketa, saya memancang pengumuman" Tanah Ini Dijual" dengan mencantumkan nomor ponsel saya untuk dihubungi peminat sembari mengurus pencabutan perkara di pengadilan," ulas Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas ini.

Satu persatu peminat menghubunginya. Ada juga yang mengetahui kalau objek tanah itu sedang dalam sengketa di pengadilan. Setelah Pak Jhon menjelaskan, orang itu mengajukan penawaran Rp150.000/meter². "Saya tanggapi dengan gumam: hmm(?), orang itu menaikkan tawaran jadi Rp175.000/meter²," katanya lagi seraya menambahkan, seluruh prosesnya selesai dalam waktu kurang dari tiga bulan. 

Namun, Jhon Farlis tidak menyebutkan luas tanah sengketa yang dia mediasi. Sekiranya 1.000 meter² saja, dalam tiga bulan ia memperoleh total penghasilan Rp75 juta!

Pada kesempatan lain, lanjutnya, ia pernah didatangi panitera suatu pengadilan negeri. Si panitera meminta jatah yang dia kira diterima Jhon Farlis atas kasus sengketa perdata tanah yang berhasil didamaikan Jhon secara mediasi. Sebelumnya, kasus itu bergulir di pengadilan. 

"Saya hanya tertawa. Mediasi yang saya lakukan benar-benar pelita. Saya tidak menerima uang jasa sepeser pun. Selain berinisiatif mendamaikan, saya tahu kedua belah pihak yang bersengketa sudah lelah dan kehabisan amunisi," katanya pula. 

Terkait fenomena Air Terjun Lembah Anai yang kerap meluap, menurut Jhon, ia telah mengemukakan solusi cepat kepada pihak terkait. Yakni dengan meninggikan jembatan jalan raya ±2 meter dan menurunkan bentangan rel kereta ±2 meter pula. Sebab, upaya mengatasi dengan reboisasi di kawasan hulu akan membutuhkan waktu lebih lama.

Begitu juga dengan proses penggantian tanah masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman, ulas Jhon, ia pun telah menawarkan solusi kepada pihak-pihak terkait. "Jika sama-sama berniat baik, tak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dan diselesaikan," ujar pria kelahiran Koto Anau - Solok, 14 Juli 1953, ini.

*

Saya mengenal Jhon Farlis semasa bergabung dengan Tabloid Zaman pimpinan Irawadi kira-kira tahun 2001. Ia sering berkunjung ke redaksi dan dengan senang hati bersedia jadi narasumber untuk liputan-liputan investigasi yang kami garap.

Suatu ketika saya mendapat penugasan menggarap liputan khusus kunjungan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ke Parikmalintang, Selasa 26 September 2006, guna mencanangkan Pengentasan Kemiskinan Berbasis Masyarakat. Pada saat saya menulis laporan, ada Pak Jhon di redaksi. Saya pun mengajaknya berdiskusi. 

Hasil perbincangan dengan Pak Jhon saya tulis pada kolom tersendiri sebagai bagian dari liputan khusus: untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah cukup membuat stiker yang ditempelkan di pintu depan rumah-rumah keluarga miskin disertai untaian doa.

Rumah Keluarga Miskin
Ya Allah, jika keluarga ini benar-benar miskin, sejahterakanlah. Namun, jika keluarga ini mengaku-ngaku miskin, kami sadar azabMu sangat pedih (QS 14 Ibrahim ayat 7).

"Jika hal ini diterapkan pemerintah, saya jamin tidak akan ada keluarga yang mengaku-ngaku miskin. Jika memang tidak miskin, pasti mereka akan mencabut stiker dimaksud dari pintu depan rumah mereka. Selanjutnya, petugas terkait mencoret keluarga itu dari daftar kekuarga miskin," kata Jhon Farlis waktu itu. 

Sayangnya, nyaris tidak ada pemerintah daerah yang menerapkan saran tersebut. (*)


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top