Catatan Zakirman Tanjung
Innalillahi wa innailaihi raji'uun
GAJAH mati
meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia wafat
meninggalkan kenangan dalam ingatan orang-orang yang mengenalnya. Maka,
alangkah beruntung orang-orang yang semasa hidupnya banyak berbuat baik dan
gemar berbagi kebaikan; ia akan dikenang dengan bingkai yang indah yang
merupakan doa-doa.
Hari ini, Sabtu 28 Agustus
2021, kita menerima kabar duka, Mantan Wakil Gubernur Sumatra Barat periode
2016–2021 Drs H Nasrul Abit gelar Datuak Malintang Panai wafat di RSUP M Djamil – Padang pukul 01.39
WIB dalam usia 68 tahun 8 bulan 22 hari. Beliau lahir di Air
Haji, Linggo
Sari Baganti, Pesisir Selatan, pada hari Jumat 28 Rabi’ul Akhir 1374 Hijriyah atau bertepatan dengan
24 Desember 1954 (66 tahun 8 bulan 4 hari).
Secara pribadi saya
tidak sering terhubung komunikasi dengan almarhum, kecuali pada dua momentum. Pertama, hari Rabu 3 Agustus 2006 dan kedua, Selasa 15 Maret 2016.
Nasrul Abit Itu Kakak Ipar Saya
Melakoni profesi
sebagai penulis dan wartawan sejak Agustus 1985, banyak pengalaman berkesan
yang saya lalui. Tidak semuanya manis memang, tetapi semua menyisakan hikmah,
pelajaran dan pemahaman. Tak salah jika ada ungkapan 'pengalaman adalah guru
yang terbaik'.
Di antara pengalaman yang cukup berkesan adalah pertemuan secara tidak sengaja
dengan Bupati Pesisir Selatan Drs. H. Nasrul Abit di Padang Bukit, Kecamatan
2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Rabu 3 Agustus 2006. Waktu itu
berlangsung iven kunjungan Wapres RI, Muhammad Jusuf Kalla.
Usai acara dan penanaman
pohon, wapres bersama rombongan langsung meninggalkan lokasi yang terletak di
pinggir Jalan Raya Padang - Bukittinggi Kilometer 43 itu. Selanjutnya, Gubernur
Gamawan Fauzi serta para bupati, walikota dan para pejabat lainnya ikut
menyusul. Tinggal saya bengong sendiri, tak tahu hendak gabung dengan siapa.
Saat itulah saya melihat mobil sedan plat
merah BA 1 G masih berada di tengah lapangan. Pintu depannya kanan dan kiri
tampak terbuka tetapi tak ada siapa pun di dalamnya. Saya pun memandang ke
sekeliling. Tampaklah Bupati Pesisir Selatan Drs. H. Nasrul Abit sedang
berbicara dengan sekelompok orang dengan pakaian bertuliskan kelompok tani.
Spontan, saya mengabdikan momen itu dengan kamera.
Setelah pembicaraan mereka selesai, saya menemui dan menyalami Bupati Nasrul
Abit sembari memperkenalkan diri sebagai wartawan. "Anda benar-benar
bupati yang sangat peduli terhadap petani, padahal bupati dan walikota lain
sudah sejak tadi meninggalkan lokasi," cetus saya.
Usai berbincang singkat, Bupati Nasrul Abit mengajak saya makan siang seraya
bertanya di mana tempat makan yang bagus. Saya menawarkan ke Rumah Makan Lamun
Ombak, lokasinya di pinggir jalan menuju Kota Padang. Nasrul Abit menyatakan
setuju. Menunggu pelayan menghidangkan menu makanan, saya kembali mengajak
Bupati Nasrul Abit berbincang ringan.
"Pak Bupati... eh, sebaiknya saya memanggil Uda (Kakak) sajalah
....".
"Kenapa?," tanya Nasrul Abit, mimik wajahnya tampak serius
menatap wajah saya.
"Karena saya merupakan adik ipar Uda," jawab saya.
"Adik ipar bagaimana? Apakah Bung adik dari isteri saya?"
tanya Nasrul Abit lagi.
"Benar, Uda, adik kandung malahan, seayah dan seibu," jawab
saya lagi.
"Oh ya, mengapa kita belum pernah bertemu sebelumnya?," tanya
Nasrul Abit penasaran.
"Mungkin karena kesibukan Uni (sapaan akrab kepada kakak
perempuan) saja, Da, maka beliau belum sempat menghubungi saya," jawab
saya sekenanya.
Nasrul Abit
terlihat semakin bengong seraya terus memandangi saya. "Hmmm, saya masih
belum mengerti. Lagipula, isteri saya belum pernah cerita kalau punya adik
kandung yang belum pernah bertemu sejak kami menikah. Bagaimana bisa ya?,"
ujar Nasrul Abit yang masih penasaran.
"Bisa
saja, Uda. Bukankah Uni, Wartawati, sedangkan saya, wartawan. Karena usia saya
lebih muda, praktis saya jadi adik beliau,” terang saya.
Mendengar itu, spontan, Bupati Nasrul Abit tergelak dan nyaris
tersedak. Setelah meneguk air putih, ia pun menepuk pundak saya dengan akrab.
"Kena kerjain saya ha ha ha.... suprais, baru kali ini saya
bertemu wartawan secerdas Bung," ujar Nasrul Abit.
Kami pun makan siang semeja dalam suasana penuh keakraban sembari berbincang
santai tentang berbagai hal, termasuk tentang pengalaman heroik saya kenal dan
bertemu Bupati Darizal Basir yang hendak mencalonkan diri kembali sebagai
bupati Pesisir Selatan periode kedua berpasangan dengan Nasrul Abit.
Oya, untuk diketahui, isteri Nasrul Abit memang bernama Wartawati SPd MPd.
Informasi tersebut telah saya ketahui sebelumnya.
Bupati Pemekaran Nagari
Pertemuan
kedua saya dengan Almarhum terjadi usai kegiatan Pencanangan Kampung Keluarga
Berkualitas (KB) tingkat Provinsi Sumatera Barat oleh Wakil Gubernur (Wagub)
Nasrul Abit di Korong Mandahiling, Nagari Gasan Gadang, Kabupaten Padang
Pariaman, Selasa 15 Maret 2016.
Waktu itu,
saya melihat Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB)
Kabupaten Padang Pariaman Drg H Arman Adek SH MM berjalan terburu-buru menuju
mobil dinasnya, lalu men-starter. Saya soraki, “Pak Adek, numpang saya!”
Dalam
mobil, Pak Adek mengatakan, Wagub dan Bupati Ali Mukhni sudah berangkat duluan
menuju Rumah Makan Pincalang – Pariaman. “Kita kejar mereka, Pak Zast.”
Sesampai
di Pincalang, saya lihat Wagub dan Bupati Ali Mukhni duduk bersebelahan
menghadap meja menunggu hidangan. Saya pun duduk di samping kanan Nasrul Abit,
menyapanya dan mengajak berbincang ringan.
“Oh ya,
Da, apakah kunci sukses Uda memekarkan nagari
di Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) dari semula 76 nagari menjadi 182
nagari?” tanya saya. Sebelum jadi wagub, Nasrul Abit merupakan Wakil Bupati
Pessel (2000 – 2005) dan Bupati Pessel dua periode (2005 – 2015).
Mendengar
pertanyaan saya, Nasrul Abit tampak bersemangat.
Pada masa
itu, pemekaran nagari (desa) sedang dalam penghentian sementara (moratorium) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu Gamawan Fauzi. Melalui surat edaran Mendagri menyatakan, moratorium berlangsung sejak 13 Januari 2012 hingga Presiden dan
Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu 2014 dilantik pada Oktober 2014.
Akibatnya, usulan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman tentang pemekaran 43
nagari baru jadi tertahan.
Nasrul Abit pun berkisah, sebagai bupati
waktu itu ia mengajukan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang pemekaran
106 nagari baru ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pessel. Setelah
melakukan pembahasan, DPRD menyetujui. Namun, ternyata perda tersebut tertahan
di Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Ditjen Bina Pemdes) Kementerian
Dalam Negeri.
Tak kehilangan akal, lanjut Nasrul Abit,
ia menemui Mendagri Gamawan Fauzi untuk meminta persetujuan khusus. Berhasil, ia pun
memerintahkan Sekretaris Daerah Pessel mengundangkan perda tersebut,
selanjutnya memerintahkan camat melantik pejabat walinagari untuk memimpin
masing-masing ke-106 nagari baru hasil pemekaran itu.
Hal yang menarik, menurut pengakuan Nasrul Abit
waktu itu, ia mengajukan dan membahas ranperda tentang pemekaran 106 nagari baru itu
secara top down (langsung) tanpa
meminta pendapat atau pertimbangan dari masyarakat (botton up). Alhasil, masyarakat dapat menerima, Pessel pun menjadi
kabupaten dengan jumlah pemerintahan nagari terbanyak di Sumatra Barat yang notabene penerima kucuran Dana Desa (DD)
terbesar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). (*)