MURAI TINGGI ll Cerpen Pemenang Permisiwa Award

0

                 Writer : Wella Gustina 

                  Siswi SMP N 47 Sijunjung


Sijunjung, CanangNews.com - Pagi yang cerah. Menyinari sebuah kamar yang masih tertutup rapat oleh gorden. Mentari pagi malu-malu menampakkan dirinya di sela sela jendela kamar. Gadis yang masih betah dalam gulungan selimut itu menggeliat ketika mendengar dering pada ponselnya.


“Dringggg.....Dringggg....Dringgg....”

       

“Hm, Hallo?” ucap gadis itu suara serak setelah mengangkat panggilan dari seberang sana.

         

“Oh, ya ampun Yu! Kau baru bangun? Sebentar lagi aku dan rombongan udah mau ke   rumah mu ini!” ucap gadis di telfon yang bernama Lila.

 

Murai Tinggi, Objek Wisata Unggulan Unggan Sumpur Kudus Sijunjung Sumbar


“Ck. Iya iya, aku mau siap-siap. Sampai jumpa nanti,” 


“Tuttt..”


Setelah sambungan terputus, gadis yang bernama Ayu itu segera bergegas membersihkan diri. Minggu pagi, ia dan teman-temannya  berencana mengunjungi salah satu wisata alam yang bernama “Murai Tinggi” di Nagari mereka. Yakni Nagari Unggan.


Setelah bersiap dan berpamitan ke pada orang tuanya. Ayu dan rombongan pun pergi meninggalkan halaman rumah bercat putih itu, halaman yang tidak begitu luas, dan pagar yang bewarna coklat. Mereka pergi hanya bertujuh, tiga laki-laki dan empat perempuan.

            

Setelah menempuh perjalanan kurang 15 menit bermotor, akhirnya mereka sampai di Lapangan bola kaki yang terdapat di Nagari Unggan. Lapangan hijau yang begitu luas, langit biru yang cerah, air sungai yang jernih dan deras, di kelilingi oleh pepohonan karet yang terjaga.

            

Setelah memastikan motor mereka aman, akhirnya mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang tak jauh dari lapangan tadi. Jalanan itu  kelilingi oleh banyaknya  pohon karet. Perjalanan menuju tempat wisata tersebut memerlukan waktu 2 jam berjalan kaki. 


Keadaan sekitar hutan begitu sunyi, hanya ada suara mereka bertujuh dan sesekali suara jangkrik yang bersahutan. Hembusan angin begitu terasa menyejukkan oleh mereka dan di tambah lagi rimbunnya pohon-pohon karet.

            

“Eh, Nia sama Wulan kemana? Perasaan kita pergi bertujuh tadi. Kok malah jadi berlima sih?” ucap Rendi keheranan.

“Oh, iya ya. Kemana mereka? Apa mungkin udah pergi duluan ya? 

Tadikan mereka di belakang kita.” timpal Susi.

             

 “Mungkin aja sih. Yaudah yuk! Kita lanjutin aja jalannya. Kayaknya kita udah setengah jalan,” ujar Abi.

                

Setelah mendengarkan itu, mereka pun mengangguk setuju. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Keadaan hutan yang sunyi dan gelap karna rimbunnya pohon menjadikan kesan-kesan mistis. Percakapan dan candaan selalu mereka isi dalam perjalanan, agar kesunyian hutan tak terasa mencekam. Setelah lama berjalan, akhirnya mereka menemukan persimpangan jalan. 


Persimpangan tersebut menentukan kalau Wisata Murai Tinggi tak jauh lagi. Simpang yang jalannya lurus dari jalan setapak itu entah menuju ke mana, jalanannya sudah tertutup oleh banyaknya semak-semak berduri. Tapi, simpang yang menurun itu menuju ke wisata alam.  

                 

“Kita lewat mana nih? Yang simpangnya lurus atau menurun?” tanya Gio.


 “Kita lewat bawah,” ucap Ayu.


“Yang benar aja kau yu? Itu jalan udah kayak terowongan aja nggak sih? Mana gelap lagi, bikin ngeri,” ujar Susi

“Yah, benarlah. Aku udah pernah ke sini sebelumnya. Yaudah ayok! Kita udah ditungguin oleh Nia sama Wulan kayaknya,” ucap Ayu

    

“Yaudah ayok!” ajak Gio dan di angguki oleh semuanya.

                          

Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Mereka harus menuruni tebing yang tak terlalu tinggi. Bebatuan besar yang licin karna lumut. Di sekitar tebing tersebut banyak di tumbuhi  oleh akar-akar besar pepohonan. Dari tebing itu pula mereka dapat melihat dan mendengar derasnya air sungai. Mereka harus menyeberangi arus sungai yang deras. Di sungai tersebut banyak sekali jenis ikan, bahkan mereka dapat melihat ikan yang berkeliaran di dalam air tersebut.


Setelah menyeberang sungai, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Keadaan jalan begitu becek, tak sama seperti yang di seberang sungai tadi. Keadaan tanah merah yang licin, air yang mengenang. Bahkan banyak sekali nyamuk dan hewan-hewan kecil lainnya. Tapi tak urung, mereka dapat melihat dengan jelas sungai yang begitu jernih dengan banyaknya jenis batuan besar di dalamnya.

     

Lama berjalan sambil melihat indahnya hutan tersebut. Akhirnya mereka pun sampai di sebuah anak tangga yang berada di ngarai itu. Tak mau menunggu lama, mereka pun mulai melangkahkan kaki sampai ke anak tangga terakhir, mereka harus melangkah dengan sangat hati-hati karena sangatlah licin. Setelah anak tangga terakhir, ternyata masih ada satu tantangan yang harus mereka hadapi. Yaitu harus memanjat batu-batuan besar yang di aliri air. Dari batu tersebut, dapat mereka dengar begitu derasnya air terjun itu.

 

Setelah berhasil memanjat batu-batu besar, Akhirnya mereka dapat melihat dengan jelas air terjun yang begitu tinggi, air yang jernih dan dalam. Serta di kelilingi oleh  ngarai dan banyaknya pohon-pohon besar. Tapi, tak ada satupun orang di sana. Mungkin karna susahnya jalan dan banyaknya tantangan yang harus dilewati.


Air terjun yang tinggi dan jernih, air yang bewarna hijau karna dalamnya, batu batu kecil dengan berbagai macam terdapat di dalam air maupun diluar, hembusan air terjun yang sejuk, air yang dingin dan menyegarkan, terdapat berbagai macam tumbuhan, sungguh sangat menyegarkan mata.


 “Eh, tapi tunggu dulu. Di mana Nia sama Wulan?” tanya Susi.


Mereka yang mendengar itu seketika tersadar dari keterpakuan saat melihat indahnya air terjun dan berbagai keindahan lainnya. Mereka seakan lupa bahwa yang tadinya mereka pergi bertujuh kini hanya tinggal berlima. Setelah itu, mereka semua tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutan yang luar biasa. Tak ada satupun orang yang berada di sana. Hanya ada mereka berlima, dan otomatis kemana perginya kedua teman mereka.


“Niaaa!,, Wulaan!,” teriak mereka bersamaan.

  

 “Hhuuuuuuu..” 


Tak lama fokus mereka teralihkan kepada sosok suara yang begitu mencekam. Suara tersebut seolah menjawab apa yang mereka teriaki. Mendengar itu, seketika mereka terdiam beberapa saat dan menantikan apakah suara itu akan ada kembali atau tidak. Setelah lama menunggu, tak ada tanda-tanda suara itu lagi. 


“Kalian dengar suara yang barusan nggak?” tanya Abi


“Iya, aku dengar!” jawab Ayu dan diangguki oleh yang lainnya.


“Apa jangan-jangan itu orang hunian hutan sini? Atau itu suara Nia sama wulan? Mana mungkin suara mereka berdua kayak gitu!.” ujar Susi.


“Hussh, gak boleh ngomong gitu Sus! Kita ini lagi di hutan,” timpal ayu memperingati.


“Kalau udah gini ceritanya, lebih baik kita balik aja!” lontar Rendi dan di angguki oleh semuanya.


Sebelum pergi, mereka memutuskan untuk mengambil foto terlebih dahulu sebagai kenang-kenangan. Walaupun begitu, perasaan mereka sangatlah gelisah. Mereka sangat gelisah dengan kedua teman mereka yang tiba tiba menghilang. Dalam benak masing masing terus bertanya, ke mana perginya kedua teman mereka?.


 Mereka terus berjalan, tak ada satupun kata yang keluar dari mulut mereka. Keheningan terus menyapa hingga mereka sampai dekat persimpangan jalan. 


Selama perjalanan pulang, mereka terus meneriaki nama Nia dan Wulan. Tapi, tak ada satupun yang di balas. Ayu dan Susi sudah berlinang  air mata sejak tadi. Mereka sangat khawatir dengan keadaan temannya itu. Mereka juga berpikir, bagaimana cara memberitahukan kepada kedua orang tua dari kedua temannya itu.

 

“Woi! Kalian berdua jangan nangis terus donk! Pusing gue liatnya tau nggak,” ucap Abi kesal.


 “Gimana nggak nangis coba? Kedua Sahabat kita itu hilang! Gimana cara kita nemuin dia di hutan yang luas ini?” jawab Ayu kesel.


Mereka yang mendengar itu hanya terdiam. Apa yang dikatakan ayu itu memang benar, bagaimana cara mereka untuk menemukan kedua gadis itu dalam hutan yang begitu luas ini. 


“Niaaa....Wulaan...” teriak mereka bersamaan

“Woi! Berisik woi!” ucap seseorang


Mereka yang mendengar itu sempat tertegun. Suara apa lagi ini? Pikir mereka. Suaranya kedengaran serak dan begitu dekat, tapi orang di sekitar hutan tersebut tak ada satupun selain mereka berlima.


“Niaaa ...Wulaaan,” teriak Ayu lagi


“Oii ... Berisiik.” ucap seseorang lagi dengan suara keras.


Mereka berlima yang mendengar itu begitu terkejut, pasalnya  suara itu sangat mereka kenali. Itu seperti suara teman Mereka, Nia. Asal suara itu begitu dekat, tapi di mana? Mereka berlima seketika melihat sekeliling tapi tak ada satupun orang. Saat Gio ingin melihat sekeliling, tak sengaja ekor matanya melihat ke atas.


 “Astagfirullahaladzim,” pekik Gio sambil menunjuk ke atas pohon.


Mereka yang melihat arah tunjuk Gio pun seketika tolehkan kepala. Dan betapa terkejutnya mereka melihat ada seseorang dengan wajah putih, rambut panjang yang acak-acakan, kantong mata hitam, di bawah mata warna merah dan sudut bibir terdapat warna merah juga.


“Allahu Akbar,”


“Se-setaan...”


 “Akkhh...”


“Woii, kalian semua pada kenapa sih?” ucap orang itu kesal


“Niaaa..?” ucap mereka kompak

                

“Iya gue! Kenapa sih? Kayak lihat setan aja!” ujarnya makin kesel


 “Iya, Kita semua lihat setan. Setan itu kamu! Itu wajah kenapa jadi begitu hah?” ujar Ayu ikut kesal.


Nia yang mendengar itu sempat terheran. Pasalnya sebelum tidur tadi wajahnya baik baik saja. Saat mendengar di luar sangatlah berisik, jadi ia langsung bangun dan tak dapat mengambil apapun apalagi melihat wajahnya.


“Wulan mana?” Tanya Susi.

 

“Tuh, lagi molor” ujar Nia.


“Yaudah kita ke sana aja dulu sambil minta penjelasan” ucap Rendi dan diangguki oleh yang lainnya.


 Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke pondok kecil yang ada di pohon tersebut. Mereka berlima pun bertanya kepada Nia dan juga Wulan tentang apa yang terjadi dan membangunkan Wulan terlebih dahulu.


“Jadi gini, saat kita sama-sama jalan tuh. Aku dan Nia kan ada di belakang kalian, sedang asik-asiknya berfoto. Terus nggak lama setelah itu kita melanjutkan perjalanan. Tapi, kita berdua nggak bisa nemuin kalian. Terus kita berdua jalan aja terus sampai tiba di persimpangan di jalan di sana. Kami berdua yang gak tau jalannya kemana akhirnya putar balik dan nemuin pondok di atas pohon ini.


 Jadi kami berdua memutuskan untuk menunggu kalian semua di pondok ini aja. Baru beberapa menit si Nia udah tidur aja, karna bosan jadi aku pakain dia make up yang sempat aku bawa, jadi aku bikin ala ala hantu gitu. Jadi, ntar kalo dia bangun, dia kaget liat mukanya. Eh, ini kalian semua yang kaget haha...” jelas Wulan panjang lebar di iringi tawa yang menggelegar. Mereka yang mendengar penjelasan dari Wulan pun ikut tertawa.


Niat ingin pergi ke Murai Tinggi pun kini kandas. Mereka yang harusnya bersenang- senang saja, kini dipenuhi oleh hal-hal yang tak terduga. Hutan yang begitu rimbun serta derasnya air menjadi sebuah saksi bahwa banyaknya emosi yang hadir pada hari ini. 


Niat awal yang ingin melihat indahnya Air terjun kini digantikan dengan indahnya tawa dari mereka semua. Kadang, tertawa tak terletak pada sesuatu yang bagus, tapi kebahagiaan dan tawa terletak pada sesuatu yang sangat sederhana.(TJP)

Penulis: Wella Gustina beserta Pembina  Velly Syafriani, S.Pd dan Pesona SMPN 47 Sijunjung

Wella Lahir di Unggan pada tanggal 03 Agustus 2007.  Kelas 3 SMP N 47 Sijunjung.   

                 


                       


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top