KETIKA BULU KUDUK SAYA BERGIDIK DI PAGARUYUANG

0

Catatan Muhammad Fadli (Ajo Wayoik) SSn MSn *)


AWALNYA saya kira perjalanan ke Pagaruyuang (Kabupaten Tanahdatar-red) akan membosankan. Bersama tim Satuan Tenaga Konselor Kepariwisataan (Sanak), saya hanya berniat berbagi apa yang saya tau kepada penggerak pariwisata di sana. 


 Jalan-jalan? Ah, Pagaruyuang kan hanya soal Istano Rajo Basa.... dari kecil juga sudah sering ke situ(!), begitu batin saya. Namun, ketika sudah sampai betul ke pusat Nagari Pagaruyuang (yang ternyata bukanlah kawasan Istano), saya jadi tiap sebentar terkejut. 


Ada begitu banyak hal mempesona di sana. Sawah yang rapi dan luas, pemandangan Gunung Marapi yang lebih jernih dibanding jika memandang dari daerah manapun, sungai bersih dan bebatuan kars pada bukit-bukitnya yang tinggi, goa, rumah dan surau tua. Pokoknya Pagaruyuang bukan hanya istano!


Nah, ketika sampai di objek yang dinamai tigo luhak, keterkejutan saya mencapai puncaknya. Adalah sebuah batu besar seukuran rumah yang waktu itu ada di hadapan saya. Batu itu kami capai setelah perjalanan sekitar 15 menit dari perkampungan. Di antara rerimbun daun, batu besar itu nampak gagah menjulang. Kami naik ke atasnya melewati tangga yang terbuat dari bambu. Dan dari atas batu itu tampaklah pemandangan hutan yang sangat menawan. Yang jauh lebih menarik lagi adalah keberadaan tiga ceruk atau lubang berisi air di sana. 


Walinagari Pagaruyuang yang juga seorang Datuk menjelaskan kepada saya bahwa dinamai dengan 3 luhak, karena objek itu merupakan asal muasal penetapan luhak di Minangkabau. 


Saya jadi bergidik. Saya tebak, ini pasti ada cerita mistisnya. Benar saja. Cerita mistis soal istana emas dan peziarah yang bahkan sengaja datang dari Bali untuk napak tilas "membesuk" nenek moyangnya di sana. Panjang cerita soal ini, kita balik saja dulu ke persoalan luhak tadi. 


Waliangari Irmaidinal Datuak Magek tiap sebentar meyakinkan saya bahwa batu besar itu adalah tempat persinggahan penting bagi Rajo Ibadat. "Dulu rajo mandi dulu di situ sebelum berangkat ke mana-mana," kata walinagari sambil menunjuk sebuah lekuk panjang seukuran tubuh manusia yang terdapat pada bagian batu yang melandai. 


Mandi? Ya, menurut waliangari, rajo mandi dengan posisi telentang. "Persis seperti memandikan jenazah," kata Habibi, salah seorang penggerak wisata menambahkan. 


Bulu kuduk saya bergidik. Mak, saya ini sedang di mana? bathin saya.


Tiap tahun, terang Irmaidinal, ada saja pengunjung dari Bali yang datang ke tigo luhak. Mereka ziarah ke sini. Katanya dari buleleng. 


Waduh, panjang lagi ini ceritanya. Saya akan tuliskan pada kesempatan lain. 


Balik lagi ke soal tiga ceruk.  "Jadi, ini ceruk yang melambangkan ke tiga wilayah luhak. Mari kita ambil airnya," ulas waliangari mengajak. Air diambil dengan gelas plastik. Ceruk yang katanya adalah milik luhak 50 Kota, setelah diarahkan ke matahari airnya memang berwarna gelap kehitaman, persis dengan bendera luhak itu! 


Air dari ceruk yang katanya punya tanah datar juga begitu, Kuning airnya. Sedangkan yang punya Agam, airnya kemerahan! Semua persis seperti warna bendera masing-masing yang terintegrasi pada warna marawa. 


Masyaa Allah.....saya sedang di mana ini, Mak?!


Adi, boss-nya Green Talao Park, seorang anggota tim SANAK, terlihat iseng sendiri. Diambilnya kayu panjang, dimasukkannya ke dalam tiap ceruk. "Kita ukur dalamnya, Jo!" katanya. 


Saya cemas. Jangan-jangan ini berbahaya. Tapi, Adi baca Bismillah dulu setelah "minta izin. 


Ketika kayu diangkat dari masing-masing ceruk, rata-rata kedalamannya tidak sampai sepinggang orang dewasa. 


Namun, kata Roni, ketua Kelompok Sadar Wisata setempat, ceruk-ceruk itu tidak pernah kering. "Bayangkan saja, Jo, ceruknya ada di batu, tapi airnya tak pernah kering. Dari kecil saya di sini, saya tak pernah lihat ceruk ini kosong dari air. Tapi tidak pula pernah melimpah-ruah. Persis kata luhak itu, yang artinya tidak cukup," terang Roni yang juga pandeka silek Sitaralak ini. 


Saya makin bergidik.


Masih banyak cerita unik dari Nagari Pagaruyuang. Bila Anda sempat ke sini, mainlah sampai ke pusat nagarinya. Ada sejumlah jorong di sana. Tiap jorong memiliki cerita unik. 


Mau selfi, mandi, atau bertualang, sah-sah saja. Tapi, seperti pesan waliangari kepada kami,  "Jaga kelakuan!",  itu saja!.


*) Muhammad Fadli SSn MSn yang lebih dikenal dengan sapaan Ajo Wayoik pun merupakan manusia unik dengan beragam aktivitas; selain sebagai dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top