Banjir dan Krisis Etika Lingkungan

0

Oleh: Dr Silfia Hanani MSi *)

Beberapa hari terakhir ini beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Barat diterjang oleh banjir dan longsor. Bencana ini dipicu oleh curah hujan yang mengucur selama tiga hari berturut-turut sehingga mengakibatkan beberapa sungai meluap lantaran tidak mampu menampung gelondongan air yang begitu besar.

Di antara beberapa wilayah yang terkena hantaman banjir itu, wilayah yang mengalami paling parah yakni Kabupaten Lima Puluh Kota. Aktivitas masyarakat lumpuh karena tingginya genangan air.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat, sebagaimana diberitakan oleh Antara Sumbar (2016), bencana banjir dan longsor yang baru terjadi itu bukan diakibatkan oleh faktor iklim semata, melainkan dominan disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang sudah sangat menguatirkan dan tidak mendapatkan perhatian yang serius. Kita abai dengan etika lingkungan. Lalai dengan perspektif hidup berbasis lingkungan, karena dipicu oleh emosional ekonomi yang tidak berkarakter kesejahteraan. Akhirnya daerah yang kaya-raya dengan hutan ini rentan terhadap banjir, rentan dengan benca longsor dan seterusnya.

Dugaan yang dikemukakan oleh Walhi itu agaknya bisa kita benarkan melihat dari struktur gelondongan air dan material yang dibawanya. Air dengan begitu cepat meluap, hanya dipicu oleh curah hujan tiga hari langsung membesar dan membawa material humus tanah dalam gelodongan berwarna coklat pekat.

Hal ini dengan kasat mata jelas terlihat sebagai tanda ketidakmampuan tanah menyerap air hujan di bahagian dataran yang tinggi, sehingga terjadi luncuran air dengan cepat. Kondisi seperti ini tentu mengindikasikan ada kerusakan lingkungan dan ada struktur alam yang tidak lagi mengalami keseimbangan. Ketika alam mengalami ketidakseimbangan maka di antara  bentuk amukannya adalah bencana banjir.

Ketidakseimbangan struktur alam antara lain dipengaruhi oleh perusakan-perusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia untuk berbagai kepentingan, apakah untuk pemukiman, peladangan, penambangan atau untuk kepentingan yang lainnya. Kepentingan-kepentingan itu ternyata mengabaikan etika lingkungan dan hilang perpsektif hidup masa depan yang sejahtera bersama alam.

Kehilangan etika lingkungan itu dapat dilihat dari penjarahan hutan, pembakaran hutan, pengeksplorasian tanpa berbasis ramah lingkungan sehingga bangsa ini sangat cepat mengalami pengurangan jumlah luas hutan.

Menurut catatan Forest Watch Indonesia, setiap menit Indonesia kehilangan hutan seluas tiga kali lapangan sepakbola. Bisa dibayangkan kalau 24 jam. Majalah Geo pun menyebutkan Indonesia menjadi salah satu negara paling cepat mengalami kehilangan hutan di dunia. Sayang sekali kehilangan itu tidak dikuti oleh pengelolaan strukur keseimbangan alam.

Yang nampak adalah pengurasan dan eksplorasi secara berkelanjutan tanpa pertimbangan masa depan alam. Hal ini bisa dilihat dari penambangan di Solok Selatan yang dipaparkan oleh Walhi, di mana seluas 15.786 hektar lahan telah menjadi areal tambang yang dikuasai oleh 22 pemegang surat izin usaha penambangan (SIUP). Kemudian ditambah dengan maraknya tambang-tambang liar tanpa izin yang berkeliaran tanpa mendapat kajian keselamatan lingkungan.

Begitu pula dengan perusakan hutan yang semakin tidak terkendali. Indikator lain tentang kerusakan ini, mungkin masih segar dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu kita dikepung oleh kabut asap pembakaran hutan yang akan digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk peladangan komersial yang dikuasai oleh investor kelas kakap.

Keadaan ini, kalau tidak diatasi, maka ke depan kita akan menghadapi ancaman lebih besar lagi, yakni bencana alam yang tidak terkendalikan. Banjir akan menjadi langganan dan bahkan longsor dan sebagainya menjadi bahagian pemusnah yang siap menjarah negeri ini dengan keangkaramurkaannya.

Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus segera membenahi pengelolaan lingkungan, hutan dan alam sekitar. Harus ada aturan yang tegas dan jelas, tidak bermain-main untuk kepentingan politis dan ekonomi. Jika daerah ini tidak memperhatikan kondisi lingkungan, dapat diprediksikan, ke depan Sumbar akan hancur oleh bencana alam.

Sehubungan itu, sebagai rakyat kita sangat mendambakan gebrakan pemerintah daerah, apakah mampu membuat aturan yang tegas untuk menjaga alam tersebut? Kalau tidak, kita akan terus mengalami bencana demi bencana. Ancaman ini menjadi ancaman yang sangat serius mengingat kondisi kerusakan lingkungan yang sudah meluas.

Tidak itu saja, kita juga harus sadar untuk bertindak, membangun etika yang relevan untuk kepentingan kesejahteraan berbasis alam, sehingga alam tidak hanya menjadi objek “kurasan” dan eksplorasi. Basis etika itu sedang “terjajah” oleh kepentingan kekuatan ekonomi pasar yang merasuk ke dalam benak para penjarah kesejahteraan alam, sehingga rasukan ekonomi itu mengalahkan etika-moral manusia kepada lingkungan dan alamnya.

Orang Minang tentu hafal benar dengan pepatah berikut ini alam takambang jadi guru. Apakah dengan keadaan banjir yang begitu tragis melanda Sumbar ini hanya dianggap sebagai sebuah musibah tanpa belajar panjang dari proses asal musabab penyebabnya? Di sinilah kita membutuhkan kesadaran kolektif untuk menjaga “harta kekayaan nagari” supaya tidak jatuh dalam penjarahan tanpa etika itu.


*) Penulis Buku “Pengantar Sosiologi Bencana”, Staf Pengajar di IAIN Bukittinggi – editor Zakirman Tanjung ( tzakirman@gmail.com )


Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top