Ketua DPRD Pessel Darmansyah Temui Menteri Kehutanan Bahas Konflik Tanah Ulayat Inderapura

Canang Pessel
0


JAKARTA – Ketua DPRD Kabupaten Pesisir Selatan, Darmansyah, mendampingi Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, dalam pertemuan penting dengan Menteri dan Wakil Menteri Kehutanan di Gedung Manggala Wanabakti, Kamis, 8 Mei 2025. Pertemuan ini menjadi momen penting dalam upaya mencari penyelesaian atas konflik lahan ulayat Nagari Inderapura yang kini menjadi sorotan nasional.


Dalam pertemuan tersebut, Andre Rosiade menyampaikan keprihatinan atas penetapan tiga warga Inderapura sebagai tersangka oleh Polda Sumbar terkait dugaan perambahan hutan lindung.


Ia mengungkapkan bahwa jumlah tersebut dapat bertambah hingga puluhan bahkan ribuan orang jika tidak segera ditangani dengan bijak.


“Saat ini sudah ada tiga orang tersangka. Informasi dari Pak Kapolda dan Wakapolda, akan menyusul sekitar 50 orang lagi, dan ini bisa terus berkembang menjadi ribuan,” ujar Andre dalam pertemuan.


Menurut Andre, konflik bermula ketika lahan hutan lindung yang digunakan untuk kompensasi proyek PLTA di Riau dialihkan ke wilayah Inderapura dan Tapan. Padahal, masyarakat adat setempat telah menghuni dan mengelola kawasan tersebut sejak sebelum kemerdekaan.


“Sejak tahun 1990-an, sudah ada perkebunan kelapa sawit yang berkembang. Bahkan masyarakat menanam sawit di sekitar lahan HGU milik Incasi Raya yang direkomendasikan ninik mamak,” terang Andre.


Namun sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, status lahan berubah menjadi kawasan hutan lindung (HL) dan hutan produksi konversi (HPK), yang menyebabkan aktivitas pertanian masyarakat dinilai ilegal.


“Ini jelas krisis keadilan. Tanah yang telah dikelola secara turun-temurun kini tiba-tiba menjadi kawasan hutan. Negara harus hadir melindungi warganya, bukan malah memenjarakan mereka,” tegas Andre.


Andre meminta Kementerian Kehutanan segera mengevaluasi status lahan dan menghentikan upaya kriminalisasi massal terhadap warga. Ia juga mendesak dibukanya ruang dialog dengan masyarakat adat.


Ketua DPRD Pesisir Selatan, Darmansyah, yang turut hadir dalam pertemuan menyatakan dukungan penuh atas upaya yang dilakukan Andre. Ia menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik ini.


“Kami di DPRD Pesisir Selatan siap menjembatani dialog dan memastikan bahwa aspirasi masyarakat adat didengar dan ditindaklanjuti,” ujar Darmansyah.


Rombongan yang hadir terdiri dari ninik mamak, Ketua dan Wakil Ketua DPRD Pessel, anggota DPRD, serta 25 perwakilan masyarakat yang merasakan langsung dampak dari penetapan kawasan hutan tersebut.


Juru Bicara Ninik Mamak Inderapura, Rasadi Rangkayo Tama Alam, menjelaskan bahwa sejak dibukanya perkebunan kelapa sawit oleh Incasi Raya, masyarakat juga turut membuka lahan di sekitarnya. Aktivitas ini sudah berlangsung lebih dari dua dekade.


Menurut Rasadi, perubahan status hutan terjadi saat pemerintah membangun PLTA Koto Panjang di Riau pada 1992. Saat itu, hutan ulayat nagari Inderapura dijadikan pengganti dan ditetapkan sebagai kawasan HPK dan HL, tanpa sepengetahuan masyarakat adat.


“Masyarakat mulai mengelola lahan sejak tahun 2000. Namun baru tahun 2021 datang pemberitahuan bahwa lahan tersebut masuk kawasan hutan. Padahal sawit sudah panen sejak lama,” jelas Rasadi.


Ia juga menyebut bahwa kawasan HL seluas 7 ribu hektare memanjang dari Nagari Pulau Rajo hingga Silaut, sementara kawasan HPK mencapai 14 ribu hektare di Pancung Soal hingga Lunang. Semuanya berdekatan dengan lahan HGU Incasi Raya.


Alas hak sertifikat HGU Incasi Raya, kata Rasadi, berasal dari pelepasan tanah ulayat oleh Ninik Mamak Penghulu Suku Nan Dua Puluh. Namun, masyarakat umum tidak mengetahui bahwa lahan di sekitarnya kemudian dikategorikan sebagai kawasan hutan.


“Tidak pernah ada plang atau tanda batas kawasan hutan sejak 2000 hingga 2021. Tidak ada juga teguran resmi dari aparat,” tegasnya.


Baru pada 2021 dilakukan sosialisasi bahwa lahan tersebut kawasan hutan. Setelah itu, razia dari kehutanan dan Polda Sumbar mulai terjadi, hingga beberapa warga diproses hukum.


Pada 2022, ninik mamak membuat sanggahan kepada KLHK dan Polri, yang sempat membuat razia berhenti. Namun, pada Februari 2025, razia kembali digelar dan tiga warga ditetapkan sebagai tersangka pada 15 Maret.


Ninik mamak berharap agar status lahan dikembalikan menjadi tanah ulayat dan warga yang ditetapkan sebagai tersangka dibebaskan. Mereka juga meminta penghentian razia sampai ada penyelesaian.


Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, merespons dengan serius. Ia menyatakan bahwa jika benar masyarakat sudah lebih dulu menempati lahan sebelum penetapan kawasan hutan, maka status kawasan bisa dicabut.


“Silakan sampaikan datanya secara lengkap. Akan ditindaklanjuti oleh Sekjen dan Dirjen terkait,” ujarnya.


Ia menyebut bahwa penyelesaian bisa dilakukan melalui program Inventarisasi dan Verifikasi PPTPKH. Sementara proses hukum terhadap warga akan ditangani oleh Ditjen Gakkum.


Pertemuan itu membawa harapan baru bagi masyarakat adat Inderapura. Ketua DPRD Pessel, Darmansyah, menyatakan pihaknya akan terus mengawal proses ini sampai tuntas dan berpihak pada masyarakat.

إرسال تعليق

0تعليقات
إرسال تعليق (0)

#buttons=(Accept !) #days=(50)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top