Life Story: Ke Jakarta Bercelana Pendek, Dikerjai Teman se-Alumni

0

Catatan Zastra Certa *) 



LAMA hidup banyak dirasai

Jauh berjalan banyak dilihat


PAGI itu, usai shalat subuh, seperti biasa aku ke warung kopi, hanya bercelana pendek di atas lutut dan baju kaos oblong plus sandal jepit uzur. Cuaca tidak terlalu dingin, jadi enjoy saja.


Baru beberapa teguk menyeruput kopi panas, belum sempat menikmati ketan goreng pisang kesukaanku, terdengar klakson mobil dan suara memanggil namaku. Aku menoleh, ternyata seorang teman yang biasa kusapa Ajo. Ia menganggukkan kepala yang berarti memintaku mendekat. 


"Cari sarapan yuuk," katanya mengajak. 


Kubuka pintu samping kiri, naik dan duduk di samping kirinya. Ajo melajukan mobil arah ke luar kampung. Melewati Pasar Lubuk Alung mobil jalan terus hingga melewati Parikmalintang. "Kita cari sarapan ke Padangpanjang saja yuk," katanya. Aku mengangguk. Kopi yang kuminum barusan bisa kubayar nanti dan hal itu sudah biasa.


Mampir di suatu kedai, Ajo memesan dua porsi ketupat gulai tunjang plus dua gelas teh telur tapai serta dua bungkus sigaret. Kebetulan kami menyukai merek yang sama: Djiwa Sampai Soerga. 


Usai sarapan, Ajo mengajakku kembali ke mobil. Naik, duduk di sebelah kiri, aku membuka android, melihat pesan-pesan whatsapp dan facebook, membalas pesan di grup atau chattingan serta mengomentari beberapa postingan facebook. 


Menegakkan kepala dan memandang ke depan, aku kaget. Mobil tidak menuju Lubuk Alung, tetapi mengarah ke Danau Singkarak. "Ke mana ini, Jo? 


"Ke Jakarta," jawabnya santai. 


"Haaa, ke Jakarta dengan celana pendek, kaos oblong dan bersandal jepit darurat begini?" Namun, aku tidak menyebutkan kalau dalam dompet di saku celanaku hanya ada dua lembar limaribuan, selain KTP dan dua KTA organisasi.


"Tu apa pula salahnya? Di Jakarta apa yang tidak ada? Segala jenis pakaian dan sepatu tersedia di berbagai toko dan supermarket. Kau ragu?" Ajo mengurangi laju mobil. 


"Tidak, lanjut!" jawabku tegas. Kepalang basah. Mobil sudah menyusuri pinggiran Danau Singkarak. Soal shalat, bisa pinjam kain sarung yang biasanya tersedia di masjid-masjid atau mushala rumah makan. 


Kuberitahu kemenakan di kampung via whatsapp kalau aku berangkat ke Jakarta dan memintanya menggembalakan beberapa kambing peliharaanku, sekalian membayarkan kopi yang kuminum di warung pagi tadi. 


Pikiranku tenang. Selanjutnya, terserahlah apa yang akan terjadi. Aku yakin, Ajo takkan menelantarkanku. Pun takkan menyuruhku turun di jalan, sedangkan aku tak punya uang untuk ongkos pulang ke kampung. 


Ajo mengendara sangat lihai. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi tetapi tenang. Padahal, ia menyetir sembari tak henti merokok dan kami terus berbincang tentang apa saja melintas di pikiran. 


Usai shalat dzuhur dan menjamak ashar serta makan siang plus ngopi di Kawasan Gunung Medan - Dharmasraya, kami melanjutkan perjalanan membelah Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum) menuju Muaro Bungo. Tanpa meminta pendapatku, sesampai Bungo, Ajo belok kiri menuju arah Kota Jambi (lintas timur), bukan lurus ke arah Sarolangun dan Lubuk Linggau (lintas tengah). 


Beberapa menit lewat tengah malam, Ajo menepi dan menghentikan mobil di halaman suatu pondok yang - sepertinya - tidak berpenghuni di pinggiran hutan dalam daerah Bayung Lincir, Sumatra Selatan. Setelah menurunkan kaca depan, kanan dan kiri, ia mematikan mesin, lalu merebahkan sandaran dan tubuhnya. 


"Mau ngapain, Jo?" tanyaku. 


"Ngantuk sangat, sudah tak kuat nyetir."


"Di tempat sesunyi dan selengang ini?" 


"Kamu takut?"


Merasa ditantang, aku menjawab, "Tidak! Di dunia ini tiada sesuatu pun yang kutakuti, kecuali Allah Yang Mahakuasa...." 


Ajo sudah terlelap dengan dengkur teratur. Aku pun merebahkan sandaran, ikut rebahan, tak lama setelahnya kehilangan kesadaran.


Tiba-tiba terasa ada tangan menggeledah pinggangku. Aku tersentak, menoleh ke kiri. Di luar seperti ada bayangan tiga manusia. Usia mereka kutaksir sekira 17 s.d 20 tahun. 


"Ada apa?" tanyaku. 


Mereka tak menjawab sembari terus menggeledah, sepertinya mencari-cari dompetku. 


"Kalian tahu siapa di sebelahku? Dia punya senjata otomatis. Kalau dia terbangun, habis kalian! Kami takkan istirahat di sini kalau tidak ada berada...." 


Ketiga anak muda itu mengeloyor, menghilang di kegelapan. Aku melanjutkan tidur hingga terbangun menjelang fajar. 


Perjalanan ke Jakarta lumayan lancar. Sesekali ada petugas menyetop. Namun, dapat kami atasi, kalau perlu dengan memperlihatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) Organisasi. Petugas pun mempersilahkan kami melanjutkan perjalanan.


Memasuki Banten selepas maghrib, Ajo berhenti di depan suatu gedung berlantai tiga yang terlihat kusam. Ia naik ke lantai paling atas. Aku mengikuti walaupun dengan celana dan kaos oblong dengan bau entahlah plus sandal jepit darurat. 


Oo yaa, meski sudah sampai di Pulau Jawa, si Ajo tidak jua menyinggung soal pakaianku. Padahal di bangku tengah dan belakang kulihat ada dua tas dan satu koper yang kukira berisi pakaian. Dia juga tak pernah bertanya apakah aku punya uang. Meski demikian, dia yang selalu membayar tiap kali kami makan atau sekadar mengopi. Pun sigaret, selalu dibelinya dua bungkus dan menyerahkan'sebungkus ke tanganku.


Di sisi lain, aku tak pernah pula (dan takkan pernah) menanyakan hal itu. Sejak bocah aku sudah terdidik dan terlatih menahan diri agar tidak meminta kepada siapapun, kecuali hanya kepada Allah Yang Mahakaya (QS 1: 5).


Di ruang khusus lantai tiga kulihat seorang pria brewokan dengan body kekar didampingi dua bodyguard (pengawal). Ajo melangkah ke arah pria itu dengan sikap hormat, lalu bersalaman dengan membungkuk hingga kepala dan punggungnya terlihat sama datar dengan pinggangnya. Setelah Ajo, aku pun menyalami pria itu tetapi dengan sikap biasa, tidak membungkuk, lalu berbalik, menjauh, duduk di kursi tamu dekat pintu keluar. 


Sembari menikmati kopi hangat dan aneka jenis kue, aku menyimak pembicaraan Ajo dengan lelaki yang ia sapa Boss. Ternyata lelaki itu bukan orang sembarangan. Ia memiliki pengaruh dan jaringan luas di seluruh wilayah Banten dan Jabodetabek. 


Tidak itu saja, lelaki itu ternyata berasal dari kecamatan yang sama denganku walau beda nagari (desa). Bahkan, lelaki itu sepersukuan pula denganku. 


Ketika Ajo turun, tinggal aku bersama lelaki itu dan seorang bodyguard. Kesempatan itu kumanfaatkan untuk mendekati si boss dengan sikap hormat, kembali menyalami dengan sedikit membungkuk, lalu menyapa dengan sebutan mamak (paman). 


"Heh, kau siapa?!!" tanya si boss dengan pandangan menyelidik. 


"Saya kan kemenakan Mamak dari kampung," jawabku dengan bahasa Minang yang kental. 


"Jadiii... wa'ang (kamu) anak Supiak Banun adik den (saya)?" tanya dia, pun dengan bahasa Minang.


"Iyo, Mak," jawabku asal jadi. Kami pun terlibat pembicaraan tentang keadaan di kampungnya yang cukup kupahami, sehingga aku nyambung. Bahkan, lelaki itu memberiku beberapa kalimat pengajaran bermanfaat, baik untuk dunia maupun akhirat. 


Dalam perjalanan menuju Jakarta, Ajo menerima panggilan telepon. Menyimak penbicaraannya, sepertinya dengan si boss. "Ya, iya, Boss, siap, sekarang saya laksanakan."  


Tak lama, Ajo berbelok memasuki Rest Area Km 68, menghentikan mobil lalu memintaku mengganti pakaian. Ia mengambil beberapa tas jinjing dari bagasi belakang dan menyerahkan ke tanganku. Mumpung belum terlalu malam, aku minta izin ke kamar mandi, sekalian mencuci badan supaya segar'. 


Ketika kubuka, tas-tas jinjing itu berisi satu kaos t-shirt plus singlet, celana panjang plus cd serta sepatu dan kaos kaki. Pada kantong keempat ada handuk. Dengan uang sepuluh ribu di dompet, kubeli sabun dan shampoo. 


Ternyata pakaian dan sepatu kulit itu cocok di tubuh dan kakiku. Tak terkecuali celana panjang, juga pas tanpa perlu ikat pinggang. Sepertinya bukan pakaian dan sepatu baru. Body dan tinggi-ku memang nyaris tak berbeda dengan Ajo walau usia kami berbeda sekira empat tahun. 


Kembali ke mobil, kulihat si Ajo pun sudah ganti busana. Sepertinya dia juga ikut mandi. 


Malam itu kami keluyuran di Jakarta. Si Ajo bertemu teman-temannya di beberapa tempat. Lewat tengah malam, kami kembali istirahat di mobil. 


Keesokannya, Ajo memberitahu kalau ia diundang mengikuti rapat pimpinan organisasi di Kawasan Puncak dan bertanya apakah aku mau gabung? 


Karena tak berminat, aku minta Ajo mengantarku ke Bogor Kota dan minta turun di Kawasan Ciomas. Namun, Ajo agak ragu menurunkanku, ia kuatir jika aku  hilang ditelan kota. Aku menyatakan, "In syaa Allah aman." 


Setelah Ajo pergi, aku berjalan kira-kira 100 meter, lalu masuk ke warung nasi. Kedatanganku diketahui dan disambut oleh putra keduaku yang bekerja sebagai pelayan di warung dengan 12 meja makan itu. 


Usai makan dan mengopi, aku teringat seorang teman semasa sekolah dulu yang konon sudah lama merantau ke Bogor ini, bahkan memperistri gadis asal Rangkas Bitung - Lebak, teringat karena nomor dan namanya kulihat di grup whatsapp alumni. 


Kuhubungi nomornya via telepon. Aktif. Namun, hingga sehabis dering, tidak dia tanggapi. Kucoba sekali lagi. Hingga sehabis dering pula, tidak juga dia respons. Oh, mungkin dia sedang sibuk, pikirku, atau mungkin nomorku tak tersimpan di info kontak ponselnya. 


Tidak menyerah, kutelepon via whatsapp. Masuk, berdering, tetapi tak jua dia respons. Sadar jika foto profil akun whatsapp-ku gambar pemandangan alam, segera kuganti dengan foto diri, lalu kutelepon lagi. 


Dia respons. Kusapa dengan salam. "Siapa ini?" tanya temanku itu, sebut saja Poron. 


Aku pun menyebutkan nama lengkap dan nama sapaan serta mengonfirmasikan selokal dengan dia sewaktu sekolah dulu. Sejak tamat SMP, Juni 1986, kami memang tak pernah bersua lagi. Nomor ponselnya baru kudapat kemarin ketika ada teman lain yang menggabungkan nomorku ke grup whatsapp alumni SMP tamatan 1986. 


Berdasarkan postingan dia di grup, aku tahu jika Poron berdomisili di Bogor. Sayangnya, foto profil kontak whatsapp dia bukan pula foto dirinya, melainkan gambar mobil seri terbaru. 


"Ooo... iya, nanti saya hubungi lagi ya," ujar Poron, sambungan pun dia putus. 


Aku pun pamit ke putraku hendak ke rumah putri sulungku di Kawasan Sindang Barang. Lantaran putraku tak mungkin mengantar, aku pesan gojek via aplikasi. 


Belum sempat istirahat di rumah putriku, masuk panggilan via whatsapp. Poron. Dia menyatakan ingin bertemu denganku. Kuminta dia ke kedai nasi tempat putraku bekerja sembari menyebutkan nama dan alamat lengkapnya. Aku pun pamit ke putriku dan memesan gojek. 


Namun, aku tak melihat Poron di antara beberapa pengunjung. Terus ke belakang mencari putraku, dia menunjukkan, "Itu, Yah, yang di meja tiga, duduk menghadap ke jalan." 


Aku menemuinya dan menyapa dari belakang dengan bahasa Minang, "Hai, Ron, sudah  lama?" 


Namun, dia diam saja, asyik dengan android-nya, seperti tak mendengar sapaanku. Maka, kutepuk bahunya, "Ron!"


Sontak dia membalik, "Heh, seenaknya menepuk bahu orang, kau siapa?" katanya sembari menepis-nepis bahunya yang kutepuk tadi. 


Aku jadi ragu. Jangan-jangan putraku salah menunjukkan orang yang kumaksud. Memang pria itu sedikitpun tidak mirip Poron yang kukenal 37 tahun silam ketika kami selokal di Kelas II.F. Poron yang pernah kukenal kurus tinggi hitam plus rada dekil. Pria yang di depanku gagah, rada gendut, berkulit kuning bersih. Ia mengenakan kacamata gelap lebar dan memakai masker standar. 


"Maafkan saya ya, Pak! Maaf, mungkin saya salah orang," kataku sembari membungkuk, tak berani mengulurkan tangan untuk bersalaman, kuatir, nanti dia tepis pula. Pria itu hanya mendengus. Aku kembali mencari putraku ke ruang belakang. 


Dengan menahan emosi, aku memarahi putraku, tidak teliti menunjukkan orang. Putraku malah tertawa. "Iyaaa, Yah, iya yang itu Pak Roni teman Ayah tu. Tapi, maafkan saya, Yah, tadi Pak Roni memang meminta saya agar melihat saja aksi yang dia rencanakan," jawab putraku sembari menunduk. 


Kurang ajar, desisku dalam hati. 


Kembali ke ruang depan, ternyata Poron sudah tak ada. Terus ke halaman, kulihat Poron berdiri dekat Fortuner warna gelap, membelakangi kedai nasi. Seperti menyadari kedatanganku, ia membalik. 


"Masuk ke mobil! Kau telah mengganggu kenyamananku. Rencanaku mau makan tak jadi," katanya memerintah dengan suara tertahan, lalu membuka pintu samping kanan. 


Melihatku diam saja, "Ooo... kau tak berani yaa menghadapi saya? Dasar lelaki pengecut!!!" 


Merasa tertantang, darahku naik ke kepala. Kubuka pintu samping kiri, naik. Pria yang kukira Poron itu langsung melarikan mobil dengan kecepatan setan menuju arah utara. Sekira 15 menit kemudian, ia membelok ke halaman suatu restoran. Berhenti setelah mengerem pakem, ia membuka pintu, 


"Tunggu di sini, saya kebelet pipis," lalu bergegas memasuki restoran. 


Selang beberapa detik, seorang anak muda gagah mendekati mobil dan membukakan pintu samping kiri. "Ayo turun, Oom, Papa menunggu di dalam."


Dengan perasaan tidak karu-karuan, kuikuti anak muda itu memasuki restoran yang berkaca gelap. Sesampai di dalam, kudapati Poron ketawa ngakak sembari merangkulku. 


"Ha ha ha... hari ini dendamku terbalaskan. Dulu, saya tak berhasil mengalahkanmu yang selalu juara kelas...."


Aku terlongo, bengong, tak tahu hendak bicara atau berbuat apa.


Suasana langsung cair. Poron memperkenalkan istrinya, perempuan teramat syantik seperti bidadari yang tersesat ke bumi, putranya yang tadi menjemputku ke mobil dan dua putrinya. Mereka menjamuku laksana menjamu raja di ruang khusus berpendingin dan wangi. 


Usai shalat dzuhur, Poron mengajakku ke Bandung dengan sopir, setelah pamit kepada istri dan ketiga anaknya serta meninggalkan pesan kepada pimpinan karyawan restoran. Kami duduk di bangku tengah yang sudah ia modifikasi. 


Mungkin karena melihat pakaianku hanya yang melekat di tubuh, sesampai di Bandung, Poron mengarahkan sopir ke toko pakaian berkelas. Ia memilihkan tiga stel pakaian untukku plus sepasang sepatu dan sandal. Ia juga menyerahkan sejumlah lembaran bergambar Soekarno - Hatta. "Untuk pegangan," katanya ketika aku mencoba menolak.


Selanjutnya, Poron mengontak beberapa teman sesama alumni. Kami bertemu, reuni dadakan, ngomong ngalor-ngidul sembari makan-minum dan keluyuran dengan tiga mobil. Malamnya, Poron menyewa cottage


Besok paginya, Poron mengajakku ke Sukabumi, bertemu beberapa teman. Angkatan kami terdiri dari 10 lokal, A sampai J, dengan siswa berjumlah lebih 400 orang. Kini mereka berdomisili di berbagai daerah, bahkan luar negeri. Berdasarkan cerita yang kudengar, ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintah atau swasta, jadi istri pejabat, tak sedikit yang jadi pengusaha. Mungkin hanya aku yang tetap kere. 


Ternyata menjadi siswa berprestasi yang hampir selalu jadi juara kelas  tidak menjamin bakal menuai masa depan gemilang sebagaimana selalu kuimpikan semasa bersekolah. Namun, Tuhan berbuat sekehendakNya dan benarlah firmanNya pada banyak ayat Al-Qur'an: Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendakiNya dan membatasinya, antara lain Surah ke-30 Ar-Rum ayat 37.


Kondisiku sepertinya sudah menyebar dari teman ke teman sesama alumni. Setiap bertemu teman, baik di Bandung maupun di Sukabumi, tidak seorang pun yang menanyakan keadaanku, tetapi setiap hendak berpisah hampir semua teman menyelipkan sejumlah rupiah ke genggamanku, "Titip untuk anak-anak yooo."


Kembali ke Bogor, Poron menurunkanku di mulut gang menuju kontrakan putriku. Keesokan harinya, Ajo menelepon,'mengabarkan hendak kembali ke Padang dan menanyakan apakah aku kembali ikut? Ia pun menjemputku ke Bogor dan meluncur ke Padang. Kali ini kami melewati lintas barat sesuai permintaanku, sekaligus mampir ke tempat ayahku di Krui, Ibu Kabupaten Pesisir Barat - Lampung. (*)


*) Zastra Certa: Zakirman Susastra Cancer Tanjung 


*) terinspirasi dari pembicaraan via telepon dengan sesama Alumni SMPN Pakandangan, Kabupaten Padang Pariaman, tahun 1983 - 1986 yang sudah hampir 36 tahun tak bersua., Rabu 26 Januari 2022 mulai pukul 08.22 - 09.23 WIB,  Nomor telepon dia kuperoleh dari grup whatsapp


(Insyaa Allah, bisa kulanjutkan jadi novel jika ada sponsor tidak mengikat - hubungi whatsapp 083180225955)



Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top