Catatan Bima Putra *)
Dalam kasus ini, ada dikotomi yang jelas yang dikotomi inipun tampil dalam
teori Marxis di mana masyarakat berkelas dan negara adalah hasil dari
terpecahnya komunitas-momunitas primitif, serta politik muncul dengan
menghilangnya ikatan-ikatan hubungan darah personal.
Hal ini sering ditemukan dalam tradisi filsafat, terutama fenomenologi Hegel
yang membuat oposisi paralel antara yang universal dengan yang paralel yaitu
antara negara dan keluarga, wilayah maskulin dengan wilayah femini dan lain
sebagainya.Jauh dari memandang kekerabatan dan kekuasaan itu sebagai pengertian
yang saling meniadakan, antropologi politik telah memperlihatkan ikatan-ikatan
kompleks antara dua sistem itu, menganalisanya, serta mengembangkan teori-teori
mengenai hubungan-hubungan itu dengan berlandaskan kepada karya lapangan.
Meskipun demikian, tidaklah mudah untuk membedakan antara hubungan antara
kekerabatan dan kekuasaan dengan menimbang begitu eratnya hubungan antara
keduanya.Pada masyarakat primitif, misalnya, banyak ditemui adanya
kekuasaan yang selalu disandingkan dengan kekerabatan. Hal ini dapat dilihat
dari kriteria masyarakat primitif, khususnya dalam keanggotaan suatu komunitas
politik. Seperti halnya metode keturunan, baik dari garis keturunan patrilineal
maupun matrilineal, terutama mengkondisikan kewarganegaraan dalam
masyarakat serta didasarkan atas hubungan-hubungan dan
kelompok-kelompok yang disusunnya secara tajam yang akan berbeda dengan kekerabatan
dalam pengertian ketatnya.
Sedangkan dalam masyarakat segmenter yang menarik sebuah sistem perbudakan
domestik, status para budaknya didefinisikan terutama dalam pengertian
pengucilan dari sebuah garis keturunan dan mengambil bagian sebagai kontrol atas
kehidupan masyarakat. Kekerabatan biasanya selalu berdampingan dengan kekuasaan
sehingga kekuasaan dipandang sebagai suatu gejala yang selalu terdapat dalam
proses politik, namun para ilmuwan politik tidak ada yang sepakat mengenai
perumusan pengertian kekuasaan. Bahkan beberapa diantaranya menyarankan agar
konsep kekuasaan ditinggalkan dengan alasan bersifat kabur dan selalu
berkonotasi emosional.
Namun, tampaknya politik tanpa kekuasaan apalagi yang
sekarang muncul adalah fenomena politik kekerabatan ibarat agama tanpa
moral. Karena modern ini banyak para aktor politik yang selalu melibatkan
keluarganya untuk berkecimpung juga dalam dunia politik hal ini terlihat
di berbagai daerah menjelang pemilihan kepala daerah yang serentak dilakukan
pada akhir-akhir ini.
Politik kekerabatan atau keluarga politik memang dapat dijumpai pada hampir semua
negara. Di AS misalnya keluarga Cannedy masih dianggap sebagai kekuatan politik
berpengaruh atau dihormati, baik di Massachussedts maupun di tingkat negara
federal. Di indonesia politik kekerabatan identik dengan kekuasaan pada keluarga
atau kerabat politik tertentu. Menguatnya politik kekerabatan seperti ini
tentu saja sangat mengkhawatirkan. Jika kecenderungan ini semakin meluas, bukan
tidak mungkin dalam waktu dekat politik indonesia akan seperti yang terjadi di
Filipina dimana Bossism berbasis teritorial menguasai politik. Negara
dijalankan oleh segelintir elit dari beberapa keluarga, kalangan atau dinasti
politik yang kuat di wilayah-wilayah tertentu. Oleh karena itu, sangat sulit untuk
mengharapkan adanya perluasan akses kekuasaan maupun proses demokrasi yang
sehat dan substansial.
Gerbang Menuju Meritokrasi
Meritokrasi berasal dari kata “merit”yang berarti “kualitas bagus yang pantas
untuk dihargai” (a good quality which is deserve to be praised). Istilah
meritokrasi dipakai pertama kali oleh Michael Young pada tahun 1958 dalam
bukunya "Rise of the Meritocracy". Dalam definisi praktisnya, sistem
merit adalah proses promosi dan rekruitmen pejabat pemerintahan berdasarkan
kemampuannya dalam melaksanakan tugas, bukan berdasarkan koneksi politis. Dengan
kata lain, inti merit sistem adalah profesionalisme (baca: kinerja dan
prestasi).
Stephen J. McNamee mengidentifikasi empat syarat kunci dalam
meritokrasi: bakat (talent), sikap yang benar (right attitude), kerja keras
(hard work) dan moralitas tinggi (high moral character).
Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut demokrasi,
seharusnya meritokrasi bisa dipakai untuk memberangus korupsi, kolusi dan
nepotime yang marak di birokrasi. Idealnya, karena demokrasi menghendaki
kepemimpinan oleh banyak orang, proses perekrutannya tak bisa mengandalkan
popularitas sebagaimana afiliasi beberapa artis tanah air ke beberapa partai
politik. Tidak juga berdasarkan keturunan seperti aristokrasi atau pada
kekayaan seperti plutokrasi; melainkan harus berpijak pada prestasi (merit).
Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, setidaknya republik ini pernah dipimpin
oleh perdana menteri yang menerapkan zaken
cabinet. Dia adalah Ir Juanda, yang mengangkat menteri-menterinya
berdasarkan keahlian mereka. Sebelum Juanda, Kabinet Sjahrir juga menerapkan
sistem meritokrasi. Ketika itu, semua pos kementerian diisi orang-orang hebat
dari berbagai latar belakang. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana
menteri, dalam kabinet duduk pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin,
Mohammad Roem dan Johanes Leimena. Meski telah menerapkan merit system, namun
kabinet ini hanya bertahan kurang dari dua tahun.
Nihilnya meritokrasi pada sistem pemerintahan Indonesia dikarenakan kegagalan partai politik melahirkan tokoh-tokoh yang mumpuni. Di antara penyebabnya
adalah format partai politik yang menyandarkan eksistensinya kepada figur
tertentu. Akibatnya, orang-orang yang duduk di kepengurusan partai banyak yang dipilih
berdasarkan kedekatan dengan sang figur, bukan karena ide atau prestasi yang
dia hasilkan. Dengan cara seperti ini, alih-alih ingin menumbuhkan negarawan
terpandang, partai malah menjadi tempat pembiakan politik dinasti. Seperti yang
terjadi belakangan ini, di mana banyak anggota parlemen, gubernur, walikota dan
bupati yang berasal dari keluarga tertentu.
Jika saja bangsa Indonesia mau melaksanakan meritokrasi
sepenuh hati, maka tentu meritokrasi bukan menjadi istilah atau mitos politik belaka. Karena
meritokrasi, memungkinkan seseorang bisa maju ke tingkat tertinggi, bahkan
menjadi presiden sekalipun tanpa perlu khawatir terhadap pertimbangan politik.