Oleh, Bagindo Yohanes wempi
SEMENJAK berpisahnya daerah
kepulawan Mentawai dan kota Pariaman dari kabupaten Padang Pariaman secara
administrasi, maka secara otomatis Pusat Ibu Kota Kabupaten (IKK) dan
Perkantoran Pemda harus pindah juga dari Kota Pariaman ke daerah induk Padang
Pariaman.
Konsekwensi diatas tertuang pada tahun 2008 melalui kebijakan
politik menyepakati pusat IKK dipindahkan ke Nagari Parit Malintang. Dan
keputusan Politik masyarakat itu ditindak lanjuti dengan keluar Peraturan
Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2008 yang memperkuat secara hukum formal bahwa Ibu
kota kabupaten Padang Pariaman tersebut sah di Nagari Parit Malintang.
Alhamdulillah, ketika PP No. 79 Tahun 2008 tersebut diterbitkan,
sampai saat ini baru sebahagian besar kegiatan pemerintahan Daerah berjalan di
Ibu kota Parit Malintang. Masih banyak kantor dinas berada di Kota Pariaman,
namun tetap disyukuri dengan telah berdirinya Gedung Kantor Bupati, Kantor
Dinas dan kantor lainnya.
Maka masyarakat Padang Pariaman saat ini jika berhubungan dengan
Kepala Daerah, serta urusan pelayanan dinas, Badan atau Kantor sebahagian sudah
bisa dilayani di ibu kota kabupaten Parit Malintang tersebut, walaupun urusan
lain masih ada di Kota Pariaman seperti DPRD, Pelayana Izin terpadu, dan dinas
lainnya.
Pemindahaan pusat perkantoran pengelolaan pemeritahan dari kota
Pariaman ke ibu kota Parit Malintang secara serentak diawali dengan ada
kesepakatan tahun 2011 antara DPRD dengan kepala daerah melalui pembahasan
paripurna. Disini dua belah pihak baik eksekutif dan legislatif menyepakati
agar perkantoran pindah secepatnya. Bupati akhirnya membuat surat edaran wajib
perkantoran pindah ke ibu kota baru Parit Malintang.
Pada tahun 2012, dan tahun 2013 semua aktivitas mulain di ibu kota
baru, seperti kantor Bupati sudah bisa dipakai, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
pindah ke Parit Malintang, walaupun numpang di SD peninggalan bantuan gempa
TVONE. Selanjutnya dinas kesehatan melalui perjuangan dr Zunirman yang waktu
itu kepala dinas bisa membangun kantor dinas kesehatan melalui bantuan pusat,
Sedangkan kantor Polres kabupaten Padang Pariamah sudah lama pindah ke Parit
Malintang.
Namun saat pemindahan besar-besar itu terjadi, ada kebijakan
beberapa dinas yang agak lucu, yaitu ada beberapa kantor dinas pindah dari kota
Pariaman, namun pindahnya tidak ke ibu kota Parit Malintang, tapi pindah ke
daerah lain. Ambil contoh dinas PU pindah ke Lubuk Alung dengan alasan bangunan
yang ada di ibu kota tidak memadai, Badan kepegawai dan Kesbangpol pindah ke
Sicincin, Dinas Perikanan dan Kelautan pindah ke daerah Lubuk Alung.
Saat pembahasan di DPRD pada tahun 2012, Penulis dengan almarhum
Dasril Anipasa pernah mempertanyakan kenapa beberapa kantor dinas tidak pindah
serentak ke ibu kota Parit Malintang, waktu itu mereka beralasan karena faktor
teknis seperti tidak ada tempat/ tidak ada gedung/rumah yang refresentatif,
terlalu mahal kontrakan dan lainnya.
Dari sekian kantor dinas yang sudah pindah masih banyak yang
belum pindah, malah terkesan ada dinas yang malas pindah, bisa dilihat dari kebijakannya
seperti kantor DPRD, Kantor Pelayanan Terpadu, serta Rumah Dinas Kepala Daerah
(Bupati) kecuali Wakil Bupati yang pada tahun 2010 paska Pilkada sudah
dianggarkan dana untuk menyewa rumah di Parit Malintang.
Namun dikarenakan rumah tidak ada yang sesuai dengan kebutuhan
figur dari sosok Wakil Bupati pada saat itu, maka melalu kebijakan kabag umum
dan rumah tangga dikontraklah rumah di daerah Sungai Laban, sampai sekarang
rumah tersebut masih dipakai dengan status tetap kontrak atau sewa.
Pada waktu penulis anggota dewan, kebijakan bersama antara DPRD
dengan kepala daerah sudah menyepakati bahwa semua perkantoran, termasuk rumah dinas
sesuai dengan peraturan pemerintah harus pindah ke IKK, tanpa ada alasan yang
menyebabkan fasilitas itu tidak dipindahkan.
Namu pada tahun 2018, Penulis kaget dan tidak percaya kenapa rumah
dinas Bupati dilakukan rehap berat dengan anggaran menurut info yang didapat,
jika tidak salah sebesar Rp. 14 Milyar, belum termasuk prabotan rumah, anggaran
ini terlalu besar jika diukur dari program merehap sebuah rumah dinas kepala daerah
Padang Pariaman di bandingkan dengan daerah kabupaten lain di Indonesia.
Jika penulis menggoogleing pembangunan rumah dinas kepala daerah
kab se-Indonesia, rata-rata daerah tersebut menganggarkan lebih kurang Rp.
10Milyar, itu sudah termasuk pembebasan tanah. Dengan anggaran lebih kurang Rp.
14 Milyar tersebut alangkah baik di bangun Rumah Dinas baru di ibu kota kabupaten
Parit Malintang, dan kelebihan dananya bisa dibuat program pengentas kemiskinan,
menambah tunjangan untuk pegawai atau menutupi defisit anggaran pemda Padang
Pariaman yang saat ini terparah parah paska reformasi.
Lucunya, semua anggota dewan dikutip dari media
reporterinvestigasi mengatakan bahwa mereka tidak pernah menganggarkan rehap
atau pembangunan rumah dinas di kota Pariaman tersebut. Makin aneh kebijakan
rehap rumah dinas ini jika penulis mengacu pada kesepakatan DPRD dengan Bupati
pada tahun 2011 tersebut, dimana rumah dinas terletak di kota Pariaman ini
disepakati nanti akan dijadikan penginapan atau hotel Pemda untuk sarana
komersil dan bisa meningkatkan PAD Padang Pariaman.
Apalagi merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005
menjelaskan bahwa rumah dinas para pejabat negara, daerah harus berada di ibu kota,
harus berada dilingkungan Perkantoran dan harus berada di wilayah kabupaten
bersangkutan yaitu diwilayah kekuasan bupati Padang pariaman.
Tidak masuk dalam akal masyarakat bahwa Bupati merehap
rumah dinas tapi seperti membangun rumah baru di daerah kekuasan wilayah orang
lain. atau bahasa cimeeh urang piaman, "wee membangun rumah di pusako
urang". Secara PP seperti dijelaskan diatas langkah dan kebijakan Bupati
tersebut tidak tepat.
Penulis selaku putra kelahiran Padang Pariaman, pada tahun 2011
termasuk yang membuat kebijakan dengan jelas bahwa semua instansi, kantor
dinas, termasuk rumah dinas para pejabat wajib hukumnya dibangun di ibu kota
Padang Pariaman Parit Malintang, tanpa alasan.
Seandainya penulis ditakdirkan jadi kepala daerah maka salah
satu kebijakan yang akan diambil adalah menjadikan rumah dinas yang biaya
rehapnya mahal di kota Pariaman, dekat pantai cermin itu menjadi hotel atau
penginapan Pemda Padang Pariaman yang dikelola secara profesioanal.
Begitu juga dengan seluruh kantor-kantor yang sekarang tidak
terurus di kota Pariaman, atau aset yang tidak termanfaatkan maka kedepan akan
dibangung atau dialih fungsi menjadi tempat yang bisa mendatangkan PAD. Seperti
kawansan perkantoran Bupati, DPRD yang ada dekat Pasar Pariaman bisa dijadikan
pusat perbelanjaan modren sesuai dengan RTRW kota Pariaman yaitu kawasan
tersebut pusat perdagangan dan ekonom.
Sedangkan kebijakan untuk rumah dinas kepala daerah atau pejabat
daerah akan diarahkan wajib berada di ibu kota Parit Malintang, walaupun untuk
sementara Bupati tinggal dirumah apa adanya, atau menumpang di rumah penduduk.
Namun keputusan kepala daerah baru bertinggal ini merupakak komitmen ketaat
pada aturan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005, serta berada ditengah
masyarakat Padang Pariaman[*]