Oleh, Bagindo Yohanes Wempi.
SEJARAH panjang (plakat panjang) Minangkabau diukir dengan adanya peristiwa pemberontakan terhadap kezholiman penjajah dan ketidak adilan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap masyarakat Minangkabau. Akibat dari peristiwa-pristiwa tersebut pada akhirnya mengubah tatanan nilai adat istiadat masyarakat Minangkabau seacara fundamental.
Maka berlakulah filosofi Minangkabau sakali aie gadang, sakali tapian barubah”. Artinya peristiwa panjang tersebut membuat sudut padang, tatanan sosial, prinsip-prinsip politik, pola perjuangan, serta tatanan adat istiadat masyarakat dan lainya tidak lagi terkandung dalam nilai-nilai adat lamo pusako usang, adat nan dak lapuk dek hujan, dak lakang dek paneh atau tidak mencerminkan nilai-nilai ke Minangkabauan.
Prihatin memang, tapi itulah yang terjadi. Sekarang, seluruh komponen masyarakat Minangkabau perlu mencarikan solusi untuk kembali ketatanan ada istiadat ideal yang akan membawa Minangkabau berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK) yang ada pada zaman dahulunya (restropeksi).
Sekarang saatnyalah masyarakat Minangkabau perlu melakukan mudzakarah atau urung rembuk akbar menyepakati satu rencana dalam bentuk blueprint yang dijadikan acuan dari generasi ke geneari Minangkabau kedepan.
Perlu pemahaman bersama, bahwa blueprint yang dimaksut adalah suatu rancangan yang dirumuskan dengan tujuan memberikan arahan terhadap tatanan kedepan Minangkabau yang dilakukan secara berkesinambungan.
Sehingga setiap kebijakan yang diterapkan generasi ke generasi Minang memiliki kebersesuaian dengan tuntutan, tantangan, kebutuhan kehidupan dan lainya orang Minangkabau setiap masanya.
Jadi istilahnya, blueprint itu adalah cetak biru, Ibaratnya bagunan yang akan dibangun oleh arsitek, segala bentuk yang berkaitan pembuatan bangunan itu tercantum dalam kesepakatan tertulis. Itulah yang dimasud dengan blueprint Minangkabau.
Keinginan dari semua komponen masyarakat Minang menjadikan daerah ini memakai adat lamo pusako usang telah muncul kembali secara sadar. Beberapa kali para tokoh Minang sudah mulai merumuskan lahirnya Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) dalam beberapa kali seminar dan diskusi yang diadakan. Langkah ini disambut positif karena telah adanya ruh yang menjadikan nilai Minangkabu menjadi raja di tanah sendiri.
Diakui, dari gagasan tersebut masih ada kelemahan-kelemahan yang akhirnya dukungan terhadap DIM itu tidak membumi ditengah masyarakat Minangkabau. Ini lah salah satu tantanganya, bagaimana semua komponen Minang terlibat, maka pemikirannya adalah agar masyarakat Minang membuat kesepakat bersama dalam bentuk blueprint.
Sebagai alur dalam merumuskan blueprint, masyarakat Miangkabau idealnya perlu memiliki kesepahaman bersama yang dibingkai dengan adanya Idiologi Minangkabau (IM) yang akan dijadikan landasan berpijak.
Perumpaman Tour de Singkarak (TDS) harus ada titik lepas awal dimana perlombaan tersebut dimulai berlari. Sehingga rumusan dan kesepakatan adanya IM perlu ada dari awal dan dijadikan tonggak prinsip orang Minang.
Ketika Idiologi Minangkabau telah dirumuskan, selanjutnya harus ada juga kesepahaman terhadap nilai-nilai yang akan dijadikan pedoman, dikarnakan orang Minang sudah komitmen semenjak zaman Syekh Burhanuddin menerapkan nilai “adat basandi syarak-syarak basandi kita bullah” (ABS-SBK), maka orang Minangkabau harus menjadikan ABS-SBK tersebut sebagai pedoman tatanan sosial budaya Minang.
Rumusan-rumusan lainya dalam blueprint tersebut yang akan dimasukan adalah perlunya adanya perjuangan besama menjadikan Sumbar menjadi Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Ini satu poin penting juga yang akan memperkokoh isi dari blueprint tersebut.
Menurut analisa tanpa ada keinginan bersama untuk menjadikan daerah Sumatra Barat ini daerah istimewa maka jangan harap Minangkabau akan kembali seperti dahulunya[*]