Oleh Zulnaidi SH *)
PENYELENGGARAAN pemilihan umum (pemilu)
secara berkualitas dan beritegritas adalah hal mutlak dan merupakan komitmen
yang tidak bisa ditawar-tawar atau diabaikan atas dalih apapun juga. Siapapun
yang cinta pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penulis yakini akan
punya komitmen yang sama – yakni memastikan bahwa demokrasi bisa tumbuh dan
berkembang dengan baik dan tidak lagi mengalami masa “gelap” seperti pengalaman
di masa lalu.
Menurut pengalaman dan pikiran penulis – saat ini memasuki periode 5 tahun
kedua sebagai penyelenggara pemilu di tingkat Kabupaten Padang Pariaman – KPU
(Komisi Pemilihan Umum) bagaikan ikan dalam akuarium yang seluruh aspek dan
aktivitasnya bisa dilihat atau dipantau oleh siapapun. Husni Kamil Manik
(Mantan Ketua KPU RI 2012-2016) menganalogikan pemilu bagaikan permainan
sepakbola, hal mana KPU menjadi satu unsur terpentingnya.
Sebagai Ketua KPU Padang Pariaman (periode 2018 – 2023), penulis menyadari
betapa pentingnya menjaga kredibilitas pemilu, yakni penyelenggaraan dan hasil
pemilu yang dapat dipercaya oleh masyarakat dan punya implikasi positif terhadap
tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama tujuan terciptanya masyarakat
yang adil dan makmur. Jika kredibilitas pemilu rusak, maka demokrasi indonesia
akan rusak dan berdampak buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kredibilitas ini menjadi mungkin jika sistem pemilu konsisten menerapkan
nilai jurdil (jujur dan adil), taat hukum dan taat asas, sehingga seluruh unsur sistem penyelenggaraan
pemilu dijiwai oleh nilai-nilai atau prinsip tersebut. Sistem dimaksud meliputi
unsur subyektif (penyelenggara, peserta, pemilih), unsur obyektif (regulasi,
anggaran dan budaya demokratis) serta unsur pendukung lainnya (pemerintah,
pers, penggiat pemilu & demokrasi dan unsur-unsur masyarakat lainnya).
KPU Melayani
Pemahaman inilah yang menurut penulis menjiwai lahirnya kesepakatan untuk
terus memperbarui komitmen KPU RI untuk menjadi lembaga penyelenggara pemilu
yang terbuka, akuntabel (bertanggungjawab – red) dan profesional yang
mengejawantah berupa “gerakan” dengan tagline #KPU Melayani.
Bertepatan dengan launching Pilkada 2018, Rabu 14 Juni
2017, Ketua KPU RI Arif Budiman meluncurkan tagline #KPU
Melayani di Gedung KPU RI Jalan Imam Bonjol Jakarta; sebuah komitmen yang
memberikan pesan tegas kepada bangsa bahwa tugas penyelenggaraan pemilu adalah
tugas penting yang berisi aktivitas pelayanan sebagai sebuah amanah yang
diberikan langsung oleh konstitusi dan wajib untuk dilaksanakan dan
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Arif Budiman menyebutkan, KPU berkewajiban melayani seluruh pemilih agar
bisa difasilitasi dalam menggunakan hak pilihnya, yakni dimulai dengan
pendataan dan penyusunan daftar pemilih yang akurat dan akuntabel. Untuk
memastikan data pemilih berkualitas, KPU musti mampu mengajak dan memastikan seluruh
unsur dalam pemilu serta masyarakat mengambil peran sesuai porsinya
masing-masing: peserta pemilu (partai politik atau perseorangan) dilibatkan
dalam tahapan pemutakhiran / penyusunan daftar pemilih, begitu juga dengan
pemilih itu sendiri, pemerintah, pers, pemantau dan oraganisasi kemasyarakatan
(ormas).
Arif menambahkan, KPU juga berkewajiban memberikan layanan informasi
tentang peserta pemilu atau kandidat (termasuk caleg) yang seluas-luasnya
kepada publik secara benar; mempublikasikan regulasi pemilu, serta menyosialisasikan
tentang cara kerja penyelenggaraan pemilu serta menyampaikan hasil pemilu
kepada masyarakat secara up to date dan mudah diakses.
Tantangan terpenting untuk memastikan efektivitas KPU Melayani ini
berkerja dengan baik adalah masih rendahnya kultur melek pemilu dan peran
partisipatif masyarakat dalam setiap tahapan penyelenggaran pemilu. Penulis
merasakan sendiri bagaimana sulitnya mengharapkan partai politik mau ikut
terlibat dalam mencermati data pemilih yang tahap demi tahap selalu kita
publikasi dan koordinasikan dengan mereka karena ada semacam anggapan bahwa
data pemilih adalah tugas KPU.
Begitu juga dengan pemilih itu sendiri, kita sulit untuk terlalu berharap
bahwa data pemilih yang berulang-ulang kita publikasikan itu akan dilihat,
dicermati dan dikritik oleh mereka, alih-alih
pada tahapan akhir saat DPT (data pemilih tetap) ditetapkan dan diumumkan baru
ada yang “berteriak” bahwa DPT tidak akurat, padahal 4 bulan sebelumnya kita
juga sudah berulangkali “berteriak” meminta pemilih untuk mencermati data
pemilih sementara dan data pemilih perbaikan yang kita publikasikan.
Pemilu Naik Kelas
Pemilu hanya sekadar seremonial lima tahunan jika kita tidak mau memulai
untuk berubah dengan cara berkomitmen dan mengambil langkah-langkah agar
kehidupan demokrasi kita menjadi dinamis dan tumbuh sesuai dengan harapan
rakyat indonesia. Yakni komitmen partisipasi aktif, taat hukum dan asas serta
tersedianya regulasi yang berkeadilan.
Penulis membayangkan suatu masa bangsa ini akan memasuki suatu periode
pemilu di mana pemilihnya melek pemilu dan berperan aktif. Pemilih sadar bahwa
hak pilihnya adalah hak dasar yang harus dijaga; karenanya mereka proaktif
melaporkan, mengawasi dan memberikan masukan terkait data pemilih. Dengan
demikian KPU tidak perlu lagi harus mengeluarkan biaya besar, merekrut banyak
petugas dan menyediakan banyak waktu untuk tahapan coklit (pencocokan dan
penelitian/pendataan pemilih) karena pemilih secara proaktif melakukan
pelaporan data mereka menggunakan perangkat teknologi yang sudah berkembang
pesat.
Bukan itu saja! Jika pemilih melek aturan dan informasi serta proaktif,
maka gaduh karena hoaks (dari waktu ke waktu selalu membonceng pemilu) juga
akan berkurang secara signifikan. Ini baik untuk stabilitas kehidupan demokrasi
kita sekaligus juga mampu memutus alam bawah sadar kita tentang memori kelam
masa lalu bahwa pemilu identik dengan manipulasi dan tidak jurdil.
Penulis sangat menyadari bahwa trauma masa lalu dan hoaks dalam
penyelenggaran pemilu sangat erat kaitannya dan semua itu berhubungan dengan
kultur demokrasi kita yang belum meningkat secara signifikan dan substantif
pasca orde baru. Lihat saja bagaimana orang masih percaya bahwa pemerintah bisa
mengintervensi KPU misalnya, atau masih ada orang percaya terjadi manipulasi
hasil pemilu 2014 menggunakan teknologi “penyedot” data KPU, padahal pemilu
kita bukan pemilu elektronik yang menggunakan seperangkat teknologi melainkan
kita masih menggunakan pemilu secara manual (kertas suara dan dokumen yang
ditulis secara manula) bukan elektronik.
Jika pemilih melek informasi dan aturan pemilu, maka penggunaan teknologi
informasi untuk menjamin keterbukaan penyelenggaraan dan hasil pemilu akan
punya implikasi berlipat-ganda dibandingkan dengan yang kita rasakan sekarang
ini dan kredibilitas pemilu akan tinggi.
KPU telah membangun sebuah sistem pemilu menggunakan perangkat teknologi
informasi mutakhir sesuai dengan perkembangan yang ada dengan spirit bahwa
pelayanan semakin masksimal dan keterbukaan informasi publik semakin terwujud.
KPU membangun sidalih (sistem informasi data pemilih), situng (sistem informasi
penghitungan suara), sipol (sistem informasi partai politik) dan banyak sistem
informasi lainnya. Namun, sudah berapa banyak warga negara yang menggunakan
atau mengakses sistem informasi yang tersedia secara online tersebut?
Bukan itu saja, KPU termasuk lembaga yang mendapatkan penghargaan dari
Komisi Informasi sebagai lembaga yang informatif (2017). Hal ini diperoleh
karena di seluruh satuan kerja (satker) KPU (pusat sampai daerah) terdapat
layanan PPID (pejabat pengelola informasi & dokumentasi – red) yang
memberikan layanan kepada siapa saja yang membutuhkan informasi tentang KPU dan
hasil pemilu, termasuk regulasi-regulasi yang ada. Bahkan sekarang ini kantor-kantor
KPU telah disulap menjadi ruang pendidikan politik dan pemilu warga berupa
Rumah Pintar Pemilu dengan banyak informasi yang aksesibel. Sudahkah kita
memanfaatkannya?
Semua yang dilakukan KPU tersebut bukan hanya sekadar melepaskan tanggungjawab
birokratis penyelenggaraan pemilu (sesuai UU 7/2017 tentang Pemilu), namun
lebih dari itu bahwa KPU berkewajiban menjadi lembaga publik dan demokrasi yang
terbuka, bersih dan akuntabel (sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik), lembaga yang bebas dari KKN (sesuai UU 28/1999 tentang penyelenggaraan
negara yg bebas KKN) dan yang terpenting dari itu semua bahwa amanat UUD 1945
bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Pada akhirnya KPU akan naik kelas atau tidak sangat ditentukan oleh
terwujudnya lembaga demokrasi (utama: partai politik) yang profesional dan
demokratis. Sebab, pemilu demokratis yang berkualitas hanya bisa terwujud jika kontestan
pemilu sebagai aktor utama dalam pemilu berubah dari organisasi “pemburu kuasa”
menjadi lembaga pemberdayaan demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Terakhir, penulis berkeyakinan bahwa sudah saatnya kita memiliki regulasi
pemilu yang komprehensif, ajeg dan kompatibel dengan tujuan
demokrasi serta tujuan berdirinya negara ini. Melepaskan kepentingan kelompok
dan partisan dalam menyusun UU pemilu menjadi prasyarat agar demokrasi dan
pemilu kita benar-benar menjadi sarana kedaulatan rakyat demi tercapainya
kehidupan rakyat yang adil dan makmur.
*) Zulnaidi SH lahir di Sungai Laban, 11 Februari 1977. Menamatkan Pendidikan S1 di
Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 2003, saat ini ia Ketua KPU Padang Pariaman Periode 2018 - 2023. Sebelumnya, Zulnaidi merupakan
Komisioner Divisi Hukum, SDM dan Organisasi KPU Kabupaten Padang Pariaman periode 2013 - 2018 .
Pernah aktif di bidang perbankan sebagai Manager & Konsultan SDM Potensa Resourcing tahun 2003 - 2008, Marketing PT Indosurya Securities & AIG Life Insurance tahun 2008 - 2009, Marketing PT BPR Pembangunan
Padang Pariaman tahun 2010 - 2011 dan Legal Officer di Bank BPR Mutiara Pesisir tahun 2011 - 2013.