Catatan Zakirman Tanjung
ISLAM tidak mengenal hari ibu
karena setiap anak dianjurkan berbakti serta berdoa untuk ibu (dan ayah) mereka
setiap waktu. Lalu, mengapa ada peringatan hari ibu di Indonesia? Mengertikah kita
substansi peringatan itu atau sekadar latah menuliskan dan memosting di beranda
facebook, twitter, BBM?
***
Setiap 22
Desember, masyarakat Indonesia selalu memperingati Hari Ibu. Substansi dari
hari perayaan nasional ini ditujukan bagi seluruh ibu-ibu di Indonesia atas
perannya di dalam keluarga dan tindak sosialnya di tengah masyarakat.
Meskipun
dirayakan secara nasional, namun tidak semua warga Negara Indonesia tahu
bagaimana awal mula ditetapkannya hari besar tersebut. Meruntut sejarah Hari
Ibu, berarti kita harus kembali pada 22-25 Desember 1928.
Saat
itu, sejumlah pejuang perempuan dari 12 kota di Tanah Jawa dan Sumatera
mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Dalam kongres tersebut,
mereka menyatukan pikiran dan semangat untuk ikut berjuang merebut kemerdekaan
serta perbaikan nasib kaum perempuan di Nusantara ke depan.
Dari
upaya penyatuan cita-cita itu mereka memutuskan beberapa poin penting. Di
antaranya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kemudian dikenal dengan nama
Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Namun,
penetapan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember tidak diputuskan saat itu juga,
melainkan pada tahun 1938 atau tepatnya dalam Kongres Perempuan Indonesia III.
Penetapan hari raya nasional itu diilhami perjuangan para pahlawan perempuan
yang hidup di abad ke-19.seperti Raden.Ajeng Kartini, Cut Nya' Dien, Maria
Christina Tiahahu, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Rangkayo Rasuna Said , Nyai
Achmad Dahlan dan Cut Meutiah.
Dalam
setiap kongres, mereka banyak membahas berbagai isu yang berkembang di dalam
negeri. Yakni keterlibatan perempuan memperjuangkan kemerdekaan, hingga
pelibatan perempuan pada berbagai aspek pembangunan pasca kemerdekaan.
Upaya
pencapain dari cita-cita para kaum feminis itu terwujud pada 1959. Soekarno
yang saat itu menjabat Presiden Indonesia menetapkan bahwa 22 Desember sebagai
Hari Ibu melalui Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959.
Setelah
itu, perjuangan Kowani di masa pembangunan lebih banyak menyoal perdagangan
anak-anak dan perempuan, hingga pernikahan usia dini kaum perempuan. Selain
itu, masalah kesehatan para ibu dan gizi para balita juga terus dikaji dalam
kongres itu.
Tidak Rela Jika Ibu Dirawat Pembantu
Hamsy
bin al Hasan rajin melayani ibunya dan membersihkan kotoran yang berada di
kakinya. Kemudian Sulaiman bin Ali mengirim kepadanya sebuah kantung
menyampaikan pesan,”Belilah dengannya pembantu (budak) untuk melayani ibumu”.
Hamsy
bin Al Hasan pun menolaknya seraya menyampaikan, ”Sesungguhnya ibuku tidak
ridha jika orang lain merawatku di waktu aku masih kecil, maka demikian pula
aku tidak ridha jika ada orang lain yang melayaninya sedangkan aku sudah besar”. (Tanbih Al Mughtarrin, hal. 30)
Hal
yang terjadi di zaman ini malah sebaliknya, ibu menyerahkan anak kepada
pembantu di waktu kecil hingga anak menyerahkan ibunya di masa tua ke panti
jompo.
(dari berbagai sumber)