Ironisme Semangkuk Bakso Segenggam Penyedap: Fenomena Golput(?), Wabah Goltap(!)

0

Catatan Zakirman tanjung 



KEKUATIRAN banyak pemerhati politik terhadap rendahnya tingkat partisipasi publik pada pemilihan umum (pemilu) legislatif dan presiden cukup dapat dimengerti. fakta pada beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) menunjukkan kecenderungan demikian; tingkat partisipasi publik hanya berkisar 50 s/d 60%.

Secara hukum, seberapa pun tingkat keikutsertaan pemegang hak memilih terdaftar yang menggunakan haknya dalam pemilu tidak ada masalah. Sebab, belum ada satu aturan pun yang menyaratkan kuorum atau presentase tertentu sebagai batasan sah-tidaknya pemilu. andai cuma 10% pemilih terdaftar saja yang menggunakan hak pilih – atau malah di bawah itu – hasil pemilu akan tetap sah dan takkan diulang. 

Hanya saja, semakin kecil partisipasi pemilih, legitimasi figur pemimpin / wakil rakyat  terpilih juga semakin rendah. Dengan alasan “demi hukum”, figur-figur tersebut boleh saja berkuasa, tetapi kepemimpinannya tidak diakui mayoritas rakyat.

Hal ini bisa menyebabkan kepercayaan dan dukungan rakyat terhadap pemimpin atau legislator hasil pemilu akan sangat rendah. Dampak lanjutannya, apapun kebijakan yang dilahirkan pemimpin demikian takkan dianggap oleh rakyat. Artinya, pemimpin bak kata pemimpin, rakyat bak kata rakyat pula.

Siapapun di antara kita pasti berharap akan tercapai suatu harmonisasi dalam hubungan antara pemimpin dan rakyat; baldatun tayyibatun warrabun ghafuur. pemimpin mencintai rakyat, rakyat mencintai pemimpin. Maka, kalimat-kalimat indah tentang kecintaan terhadap bangsa dan negara akan terwujud. Betapa indah jika impian masa-masa menuntut ilmu di bangku sekolah dasar (SD) menjadi kenyataan!

Sayangnya, semua itu hanya tersimpan dalam buku catatan lusuh Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang kini berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarga-negaraan (PPKn). Realita yang kita dapati sering berbanding terbalik. Rakyat menentang para pemimpin dan wakil mereka di lembaga legislatif dengan demonstrasi disertai aksi-aksi brutal bin anarkis. Mungkin mereka sudah terlalu muak terhadap banyaknya tikus bergentayangan, lalu tanpa berpikir panjang nekat membakar lumbung padi.

Kita tentu tak habis pikir, bagaimana mungkin rakyat bangsa yang terkenal berbudi luhur dengan ketinggian budaya seperti Indonesia bisa berprilaku sebagaimana orang bar-bar? Membakar, merusak dan menghancurkan jadi pemandangan rutin yang tertayang di layar televise dan media-media sosial. Pelakunya seperti tidak berpikir jika akibat perusakan yang mereka lancarkan pasti dibayar dengan menyedot anggaran daerah dan negara, anggaran yang sebenarnya untuk perbaikan taraf ekonomi mereka juga sebagai rakyat.

Tetapi, begitulah kenyataan yang berlangsung, terutama semenjak kran yang disebut era reformasi terlepas dari sumbatan. Satu lagi impian yang terajut pertengahan 1998 menguap ke awang-awang!

Semua tentu bukan tanpa penyebab. Reformasi di negeri kita bagai menjadi selubung bagi para oknum yang beruntung terpilih menjadi penguasa. Mereka seperti memperoleh suasana untuk melabuhkan hasrat terkekang. Maka, berbagai aturan pembenaran mereka lahirkan, intinya untuk peningkatan kesejahteraan aparatur penyelenggara negara, tak terkecuali para wakil rakyat. Air liur rakyat sebagai pemilik sah negara ini pun berjelijehan!

Secara logika, upaya peningkatan penghasilan penyelenggara negara sangat dapat diterima. Kalau sudah hidup layak, mereka diharapkan bakal melabuhkan pengabdian maksimal. Setelah kebutuhan terpenuhi tentulah mereka akan mencurahkan seluruh perhatian, pemikiran, waktu dan tenaga untuk sepenuhnya melayani dan mengusahakan hajat hidup dan kepentingan rakyat. Akan tetapi, ternyata hal itu hanyalah logika terhadap manusia beradab.

Tindak pidana korupsi, kolusi, manipulasi dan nepotisme (KKMN) terkesan kian menjadi-jadi, bagai menjadi budaya dan peradaban baru para oknum penyelenggara negara ini. Seorang pengamat menyebutnya sebagai peningkatan luar biasa. Menurutnya, jika dulu perbuatan korupsi masih dilakukan di bawah meja alias malu-malu, belakangan justru terang-terangan di atas meja, jika perlu sekalian dengan mejanya juga dikorupsi. Tak ayal, tindak pidana KKMN pun terorganir dan terstruktur dengan modus yang makin rapi.

Di sisi lain, upaya pemberantasan KKMN pun terkesan gencar. Tanpa menunggu lama, pemerintah melengkapi institusi dan konstitusi khusus untuk itu. Publikasi kinerja institusi tersebut pun dikemas dengan dahsyat. Hanya saja, disebut “terkesan” karena upaya demikian lebih pada gebyar belaka, seakan-akan pemberantasan KKMN benar-benar serius.

Persoalannya, upaya dimaksud juga tersendat oleh rumit dan berbelitnya proses hukum, belum lagi terganjal oleh apa yang digembar-gemborkan sebagai hak azasi manusia (HAM).

Inilah ironi penegakan hukum! Akibatnya, kemampuan institusi itu melakukan pemberantasan KKMN tak sebanding dengan pertumbuhannya. Entah lantaran perlakuan aparat penegak hukum terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana-nya terlalu manusiawi, praktek-praktek KKMN terkesan tetap – bahkan makin – tumbuh subur dengan beragam modus operandi.

Fakta-fakta demikian terpertontonkan kepada rakyat tanpa sensor, terlebih lagi didukung oleh kebebasan informasi. rakyat pun jadi jenuh dan muak, lalu memilih pilihannya sendiri. dengan berupaya mengebalkan diri terhadap berbagai derita yang diakibatkan oleh krisis multidimensi, Mayoritas rakyat mencoba bertahan hidup dengan cara masing-masing. Namun, konsekuensinya, mereka kehilangan kepedulian terhadap politik penyelenggaraan daerah dan negara.

Sikap-sikap ketidakpedulian inilah yang mencuat ke permukaan. Sebab, semakin banyak saja rakyat yang bersikap tidak mau tahu terhadap penyelenggaraan pemilu, pilkada atau pilpres. Pemimpin berganti atau tidak, bagi mereka sama saja. Partai politik bertumbuhan atau bertumbangan sekali pun, bagi mereka tak ada artinya. Bahkan, ada atau tidak ada wakil rakyat bagi mereka tak ada bedanya. Pemerintahan bagi mereka antara ada dan tiada.

Kondisi beginilah sesungguhnya yang melatari mengapa semakin kecil saja tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu, pilkada atau pilpres. Baik secara moril maupun – apalagi – materil, mereka merasa tak memiliki kaitan dengan pemilu yang cendrung melahirkan perubahan bohong-bohongan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh-boleh saja menghamburkan uang sampai puluhan miliar rupiah untuk memuat iklan di media massa guna menyosialisasikan daftar caleg sementara dan tetap, tetapi bisa diyakini tidaklah seberapa yang mencermati karena kebanyakan rakyat tidak peduli.

Satu-satunya solusi, kemunculan figur kharismatik di antara elemen bangsa ini; figur yang terjun ke medan politik tidak semata-mata untuk politik tetapi lebih mengedepankan jiwa kenegarawanan yang tulus. Pertanyaannya, apakah di indonesia figur negarawan seperti itu ada? Faktanya, bangsa ini sepertinya hanya dihuni para politisi. Negarawan sudah pada wafat atau mungkin belum lahir. Entah kapan kita punya Bung Hatta lagi, entah kapan Buya Hamka hidup lagi, entah kapan figur-figur seperti Muhammad Natsir kita miliki lagi!

Sesungguhnya siapa saja bisa membangun kharismatika diri di depan publik. Syaratnya tidak berat. Cukup memiliki kemauan yang kuat ke arah itu disertai ketulusan menunaikan pengabdian. Dalam tataran politik boleh-boleh saja memanfaatkan jalur publikasi, Akan tetapi penyajiannya hendaklah tidak terlalu berlebihan. Bagaimanalah rasanya semangkok bakso yang dibubuhi segenggam bumbu penyedap?

Untuk meraih simpati publik banyak figur politisi menggambarkan dirinya teramat bersih dan punya kemampuan luar biasa dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka pun mengemas pencitraan tentang dirinya melalui berbagai media, tetapi menyembunyikan ambisi-ambisi purbawi jika kelak mengantongi amanah rakyat. Dengan kata lain, mereka tak segan-segan menghejan tuah yang sebenarnya tidak mereka miliki.

Tidak banyak, bahkan nyaris tak ada, figur politisi kita yang mengedepankan kerendah-hatian dengan menyatakan jika diri mereka adalah manusia biasa dengan segala kekurangan, bukan malaikat, apalagi punya kemauan memberikan pendidikan politik untuk mencerdaskan rakyat pemegang hak memilih. Sebaliknya, kebanyakan politisi cendrung melakukan pembodohan publik!

Kalau pun ada figur kharismatik di negeri ini, sayangnya, terkesan tidak memiliki sikap percaya diri. Untuk menyatakan dirinya figur terbaik, ia tak segan-segan menjelek-jelekkan pihak lain yang menjadi lawan politik. Metode MSC alias menghalalkan segala cara diterapkannya tanpa sisa. Akibatnya, lama-kelamaan publik pun muak terhadap figur itu.

Jadi, titik persoalan mengapa tingkat partisipasi rakyat pemegang hak memilih relatif, bahkan semakin, rendah bukanlah menggejalanya fenomena golongan putih alias golput. Sebab, pemilih golput jelas-jelas mempunyai pilihan untuk tidak memilih. Sikap tersebut mereka ambil setelah mencermati dan ternyata tidak ada figur calon anggota legislatif, kepala daerah atau presiden yang layak menurut mereka.

Titik persoalannya adalah semakin banyak rakyat yang tidak peduli pada perpusaran politik! Tipe rakyat seperti ini penulis sebut sebagai goltap alias golongan tak peduli.

Persoalan sesungguhnya yang dihadapi bangsa ini adalah banyaknya goltap; ada pemilu atau tidak, wakil rakyat / pemimpin berganti atau tidak, toh kondisi bangsa / daerah tak jua berubah. mereka pun bersikap apatis.

Goltap inilah yang perlu disikapi, bukan golput!

Lalu, siapa yang peduli pada – dan punya kemauan kuat menumbuhkan kepedulian – mereka? 

Padang, 13 Februari 2009
 

Sumber: http://wartawanonline100.blogspot.com/2012/03/ironisme-semangkuk-bakso-segenggam.html

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top