ISTRI OKNUM PEJABAT PENCEMBURU BERAT

0


INI merupakan pengalaman pahit sekaligus menggelikan. Kejadiannya sekitar 16 tahun silam. Kisahnya benar-benar heroik, tetapi berakhir 'happy'. Silahkan ikuti hingga selesai, insyaa Allah anda tidak akan merasa menyesal membaca catatan ini.

Sebagai wartawan tentu saja aku mengenal dan dikenal oleh banyak orang, tak terkecuali oleh para pejabat publik, legislator dan yudikator. Sifat hubungan dengan mereka mulai dari biasa-biasa saja, bisa saja atau malah luar biasa hingga laksana keluarga sendiri.

Sebagai bagian yang berada dalam sikontol mati *), aku melakoni profesi wartawan dengan beragam fungsi. Tak hanya sekadar pemburu dan pengonfirmasi informasi untuk selanjutnya disajikan kepada publik, tetapi tak jarang memposisikan diri sebagai konsultan pribadi alias pelayan curhat alias uneg-uneg guna disikapi dengan cerdas. Tidak semua informasi yang kuperoleh aku publikasikan!

Fungsi wartawan bagiku tidaklah sekaku batasan yang digariskan secara umum. Dalam hal ini aku memiliki dasar yang cukup kuat: wartawan Indonesia mempertimbangkan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu informasi yang diperolehnya (begitulah kira-kira maktuban satu di antara sekian uraian Kode Etik Jurnalistik -- KEJ dan makna ayat 6 surah ke-49 Al-Hujurat Al-Qur'an yang kupahami).

Dengan komitmen begitu, aku berusaha menyikapi setiap informasi dengan cerdas. Langkah pertama, aku memposisikan diri sebagai custumer (pengguna layanan) warung makan; jika masakannya enak dan pelayanan bagus, akan kuberitahu pada teman dan kolega. Sebaliknya, jika hidangan mengecewakan, aku akan memberitahu orang dapur.

Namun, pilihan kedua ini tak urung berujung konflik atau pertikaian. Maksud hati melakukan konfirmasi, akan tetapi kerap disikapi dengan perilaku tak bersahabat berupa ancaman atau tawaran memberi uang sogok. Mendapati pilihan tidak menyenangkan seperti itu, biasanya aku memilih posisi atau menjadikan diri laksana sopir bus yang penuh penumpang dan sedang berlari kencang menghadapi seorang penyeberang.

Kembali ke topik tulisan!
Dalam melakoni profesi jurnalistik begitu beragam fenomena yang kutemui. Ya, namanya juga berhadapan dengan banyak manusia aneka karakter! Satu hal yang hendak kuceritakan adalah tentang isteri oknum pejabat publik pencemburu berat.

Oknum pejabat itu, yang tak mungkin kusebutkan namanya, kukenal sebagai figur yang kharismatik. Dia terkesan cukup berhasil menunaikan amanah yang diembannya dengan prestasi kerja cukup bagus. Namun, berdasarkan pengamatanku, ada masalah cukup fatal yang dia hadapi: selalu berada dalam pengawasan dan intervensi isteri!

Di lingkungan unit kerja yang dia pimpin, fenomena itu sudah menjadi rahasia umum, bisik-bisik dan gunjingan.Para bawahannya mengaku sangat terganggu dan jengah menghadapi perilaku oknum isteri atasan mereka yang terkadang terlalu campur-tangan terhadap pekerjaan dan kebijakan suami. Namun, tak urung, tak sedikit pula bawahan yang memanfaatkannya.

Hal lainnya, bagai perempuan kurang kerjaan, si isteri nyaris setiap hari kerja piket di kantor suaminya. Para pejabat bawahan terkadang mengaku risih ketika menghadap si oknum pejabat untuk urusan kedinasan lantaran nyaris tak pernah tanpa pengawasan si isteri, termasuk juga ketika aku perlu menemui si pejabat untuk melakukan konfirmasi sebelum menulis berita.

Alih-alih merasa tak nyaman, aku mencoba menyikapinya dengan santai tetapi cerdas. Ujung-ujungnya aku menjadi akrab dengan oknum pejabat itu dan isterinya meski secara terpisah. Lalu, di luar hubungan profesi jurnalistik, rizkiku sering mengalir dari si oknum pejabat atau isterinya.

Suatu ketika, entah bagaimana latar pemikiranku, mendadak aku mengisengi isteri oknum pejabat itu dengan mengatakan, "Bu, saya teramat prihatin terhadap anda. Meski anda teramat ketat mengawasi bapak, ternyata ponsel bapak kerap dipegang cewek..."
"Benarkah itu, zast?" tanya si isteri penuh minat.

"Masak saya bohong pada Ibu yang sering begitu baik pada saya? Saya punya bukti..."

Tanpa menunggu ucapanku selesai, si isteri berbalik dan pergi. Aku pun segera melupakan keisengan itu dan kembali menjalankan aktivitas kewartawanan yang saat itu lumayan padat dari hari ke hari. Celakanya lagi, entah memang karena iseng, aku tak pula memberitahu keisengan itu kepada si oknum pejabat, suami perempuan itu.

Hingga beberapa hari kemudian, oknum pejabat itu meneleponku dan mengajak bertemu di suatu tempat. Karena kupikir ajakan pertemuan biasa, segera kupenuhi tanpa perasaan curiga. Maklumlah, aku biasa memenuhi ajakan pertemuan pejabat, politisi atau pengusaha di luar kantornya, biasanya untuk mendengarkan keluhan / curhat tentang persoalan yang dia hadapi, baik untuk sekadar kuketahui maupun untuk kusikapi dengan cerdas.

Di luar dugaan, pas bertemu, oknum pejabat itu mengajakku ke suatu tempat lengang di luar kota dan langsung mengamuk bagaikan babi luka.

 Sederetan kata-kata kasar dan kotor dia hamburkan sembari memegang kerah bajuku. Karuan saja aku tergeragau dan nyaris kehilangan kendali diri lantaran tak paham mengapa pejabat yang selama ini kukenal baik tiba-tiba mengamukiku. Berkali-kali pertanyaan ketidak-mengertian yang kuajukan dia abaikan.

Lantaran merasa terancam, apa boleh buat, kesadaran menyuruh mataku mencari sesuatu di bawah kursi yang kududuki dalam mobil dinas oknum pejabat itu sebagai senjata kalau diperlukan untuk membela diri, lalu aku pun meradang.

"Baiklah, sekarang apa maumu!? Tetapi, sebelumnya sebutkan dulu apa persoalanmu denganku!" kataku ketika memperoleh sedetik celah untuk berbicara, tak kalah keras dan emosi.

"Dasar anjing kau, tak tahu terimakasih! Apa yang kau katakan pada isteriku, heh? Kau fitnah aku dengan mengatakan ponselku... Sudah tiga hari aku tak boleh pulang dan ...."

Spontan, aku pun tergelak. Lebih spontan lagi, pukulannya menghujam telak. Mulutku berdarah dan terasa bengkak. Sejurus aku merasa nyaris kehilangan kesadaran.

 Namun, sebelum oknum itu bertindak lebih konyol, kesadaranku pulih dan mencoba menjelaskan, tujuanku sebenarnya baik; sebagai Magister Manajemen Konflik (MMK) aku berani meluncurkan persoalan tetapi insya Allah siap pula mengatasinya.

Namun, penjelasanku serasa tak berguna lantaran oknum itu sudah terlanjur kalap dan gelap mata (ah, andaikan kuberitahu oknum pejabat itu maksud dan skenarioku mengisengi isterinya... mungkin kejadiannya tidak akan begini; sesalku dalam hati). 

Di sisi lain, aku pun tak ingin mati konyol.

"Baiklah, kau tahu aku takkan menang melawanmu secara fisik. Tetapi, ingat, dengan kau membunuhku persoalanmu takkan selesai. Sekarang, beri aku kesempatan menyelesaikannya dan kau pasti akan sangat berterimakasih padaku. Dengar...!"

Tanpa mempedulikan reaksinya, sebisa mungkin kujelaskan tujuan mengisengi isterinya dan skenario 'happy ending'. Sesaat kemudian, wajah oknum pejabat itu terlihat melunak.

Maka, aku pun mulai 'memerintahkan' oknum itu mengantarkanku dan turun sekitar 1 kilometer menjelang rumahnya, perjalanan kuteruskan dengan naik ojeg sepeda motor. Ia baru boleh menyusul setelah aku memberitahunya dengan misscall ke ponselnya.

Sesampai di rumah yang kutuju (sebelumnya aku membersihkan mulut dari darah), aku mengetuk pintu. Ketika si isteri muncul melongokkan wajah, "Ada Bapak, Bu...?" tanyaku.

"Bapak, bapak siapa? Suamiku sudah mati."

"Innalillahi wa innailaihi raji'uun... kapan, Bu? Kok saya tak tahu?"

"Bajingan itu sudah mati dari hatiku. Kau benar, zast. Aku memang sering mendengar informasi tentang perselingkuhannya," kata si isteri, wajahnya terlihat tegang.

"Oooo...," setelah mempersilahkanku duduk di kursi teras dan pembantu datang menyuguhkan minuman, wanita itu kembali menyerocos memuntahkan kebencian terhadap suaminya, suami yang tak tahu balas guna, padahal sejak kuliah dibiayai ayah wanita itu.

Aku pun mendengarkan dengan mimik penuh minat, lalu... "Bagaimana kalau Ibu mengajukan gugat cerai saja ke pengadilan agama?"

"Ya, aku pun sedang berpikir begitu. Tak ada gunanya bersuamikan lelaki yang tak bisa dipercaya. Apa dia pikir dengan bercerai darinya aku akan jatuh miskin dan kesepian? Aku masih cantik dan memikat kan, zast?"

Tawaranku untuk menguruskan pendaftaran gugat-cerainya ke pengadilan agama dia terima dengan senang hati dan segera menyiapkan dokumen yang diperlukan.

 Pada saat yang tepat,aku pun mengemukakan, "Tapi, iya pula mah, Bu. Kalau selesai proses cerai ini, saya akan menjodohkan Bapak dengan tante, adik ayah, saya. Dia sudah lama menjanda dan mungkin menyukai bapak...."

Mendadak, wajah wanita itu berubah, terlihat muram. Pandangannya menerawang, gerakannya pun terhenti. "Apa, zast? Suamiku akan menjadi milik perempuan lain? Sebenarnya aku sangat menyayangi dia. Sebenarnya..., aku malu mengatakannya, zast (wajahnya tampak bersemu), tapi ya itu tadi...."

"Oke, sekarang saya sudah paham. Kita tunda dulu rencana gugat-cerai ini. Bagaimana jika bapak pulang sekarang, Ibu mau menerimanya kan?" tanyaku. Wanita itu terlihat ragu-ragu.

Tombol yes/oke ponsel yang sengaja kupegang sejak melontarkan ide cerai dan telah kuformat nama oknum pejabat itu di layar monitor pun kupencet.

 Berselang sepuluh menit si oknum pejabat memasuki halaman dengan mengendarai mobil dinas. Aku pun menunggu adegan selanjutnya dengan santai sembari mereguk teh yang telah dingin.

Tak meleset dari dugaanku, ketika si oknum pejabat mengucapkan salam dan menapaki teras, peperangan lanjutan seperti akan terjadi. Namun, ketika beberapa kata pedas mulai muncul dari mulut wanita itu, dengan sigap kucoba menengahi.

"Kalau ingin perang, berbunuhan benarlah heh, saya permisi. Tapi, dengarkan dulu! Saya tak sekadar membuat isu. Ini buktinya...."

Kuambil ponsel oknum pejabat itu lalu kunonaktifkan, selanjutnya kuhubungi nomornya dengan ponselku lalu kuperdengarkan pada si isteri: Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi!

Wajah perempuan itu tampak mengerut, "Apa maksudnya?"

"Benar kan, Bu? Itu suara perempuan kan? Saya tidak bohong kan? Itulah... Ibu belum apa-apa langsung percaya, tanpa melakukan penyelidikan dulu. Tahukah Ibu, Pak ... ini adalah suami paling setia yang pernah kukenal. Aku bahkan pernah mengumpankan cewek cantik padanya di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta, tetapi tidak mempan...."

Penjelasan dan wejanganku jadi tak berguna. Sebab, wanita itu keburu menghambur ke pelukan suaminya, mendekap dan menciumi apa yang bisa dia cium. "Pa, maafkan mama ya, Pa! Mama selama ini...."

Merasa tak enak, aku melangkah pergi.
*) situasi, kondisi dan toleransi masyarakat timur

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top